Rabu, 28 Juli 2010

Malpraktek Informed Consent Operasi kaki


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Dalam rentang dua bulan terakhir ini, media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada dokter, tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang dokter? Untuk diketahui, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum ihwal standar profesi kedokteran yang bisa mengatur kesalahan profesi.
Sebenarnya kasus malpraktek bukanlah barang baru. Sejak bertahun-tahun yang lalu, kasus ini cukup akrab di Indonesia. Makalah ini akan membahas tentang malpraktek ditinjau dari hukum dan etika.
Menurut Coughlin's Dictionary Of Law: Malpractice may be the result of ignorance,neglec,orlack of skill or fidelity in the performance of profesional duties; intentional wrongdoing ;ol illegal or unethical practice (malpraktek bisa diakibatkan kareba sikap kurang keterampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanakan kewajiban profesional;tindakan salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis). Menurut Di Oxford Illustrated dictionary,2nded,1975: Malpraktice = Wrongdoing;(law) Improper treatment of patient by medical attendant;illegal action for one's owun benefit while I position of trust. (Malpraktek=Sikap atau tindakan yang salah; (hukum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medik; tindakan yang ilegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan). Perumusan dari banyak penulis lainnya,tidak jauh berbeda dari perumusan-perumusan tersebut diatas. Akan tetapi inti dari pada perumusan malpraktek tersebut di atas, serta menurut hokum yang berlaku di indonesia, kurang lebih adakah sebagai berikut: malpraktek adalah perbuatan dokter/tenaga kesehatan lainnya pada waktu menjalankan tugas profesinya yang bertentangan atau melanggar atau tindak/kurang hati-hati memperhatikan ketentuan atau prsyaratan yang berlaku untuk setiap tingkt keadaan penyakit pasien yang ditanganinya, baik menurut paraturan perundangan maupun ukuran kepatutan atau ukuran ilmu kedokteran yang dapat dipertanggung jawabkan serta menurut ukuran profesionalitas dan menimbulkan akibat yang merugikan pasien/keluarganya. Dengan mencermati rumusan-rumusan malpraktek seperti dikutip diatas,maka dalam pengertian malpraktek mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja, (Intentional, dolus, opzettelijk) melanggar undang-undang dan ketidaksengajaan (Culpa,negligance), Kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh. sembrono, tak perduli terhadap kepentingan orang lain.
Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP, kode etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian dan kematian pada orang lain. Biasanya malpraktik dilakukan oleh kebanyakan dokter di karenakan salah diagnosa terhadap pasien yang akhirnya dokter salah memberikan obat atau salah dalam memberikan tindakan.

1.2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam makalah ini adalah “Apakah ada kelalaian atau tidak bahwa tindakan tersebut sudah dipersidangkan.



















BAB II
TINJAUAN KASUS


OKEZONE, Kamis, 29 April 2010 - 21:15 wib
Korban Malpraktik, Jadi Dua Kaki Divonis Patah
Sawin diduga mengalami malpraktik di Rumah Sakit Prima Graha Banyumas setelah tim dokter mengoperasi kaki kirinya. (Foto: okezone.com)
BANYUMAS - Sawin, kakek berumur 68 tahun diduga menjadi korban malpraktik di Rumah Sakit Prima Graha di Banyumas, Jawa Tengah. Warga Desa Sokaraja Kidul, Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas itu hari ini mendapat kunjungan dari sejumlah anggota DPRD Kabupaten Banyumas.
Pasalnya, warga kurang mampu ini sedang kebingungan kemana dia akan mengadukan nasibnya. Dugaan mal praktek terhadap Sawin terjadi saat Sawin mengalami kecelakaan ketika sedang naik sepeda onthel. Karena terjatuh, kaki Sawin pun patah. Sawin kemudian dibawa ke Rumah Sakit Primagraha untuk dirawat.
Menurut salah satu anak Sawin, Suwarti, dari hasil pemeriksaan rontgen di RS Primagraha, korban mengalami luka retak pada tulang kaki kanannya. Keluargapun akhirnya sepakat untuk mengoperasi kaki kanan Sawin.
Namun betapa terkejutnya keluarga Sawin saat melihat hasil operasi. Bukannya kaki kanan yang dioperasi, malah kaki kiri Sawin yang dibedah. Itupun bukan bagian yang terluka, namun bagian tumit kaki korban yang tidak menderita luka apa-apapun.
"Kami tidak tahu jika malah kaki kiri bagian tumit bapak saya yang dioperasi. Padahal hasil rontgen kaki kanan yang retak," ujar anak Sawin, Suwarti.
Dalam pemeriksaan investigasi anggota komisi D DPRD Banyumas disertai dokter dari dewan mengatakan, ada dugaan kekeliruan analisa sebelum operasi dilakukan. Namun demikian, pihaknya belum bisa menyimpulkan sebagai malpraktik.
"Ada dugaan salah analisa sebelum operasi dilakukan. Namun kami belum bisa mengatakan ini malpraktek. Yang jelas kami berencana memanggil pihak rumah sakit," kata anggota Komisi D DPRD Banyumas Yoga Sugama.
Ketika dikonfirmasi kepada pihak RS Prima Graha, Direktur RS Prima Graha Leli Istikhariyah mengatakan jika dia baru saja mengetahui kasus ini dari wartawan. Hal ini dikarenakan tidak ada keluhan atau komplain dari pasiennya yang sudah dioperasi kurang lebih sebulan lalu (Saladin Ayyubi/Global/hri).












BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN MALPRAKTEK
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi bidan.
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

B. INFORMED CONSENT
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.
Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.
B1. Tiga elemen Informed consent
1. Threshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.
2. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman).
Pengertian ”berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat.
Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :
 Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan bagaimana BIASANYA dilakukan dalam komunitas tenaga medis.
Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.
 Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
 Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
3. Consent elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.
Consent dapat diberikan :
a. Dinyatakan (expressed)
• Dinyatakan secara lisan
• Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.
b. Tidak dinyatakan (implied)
Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.
Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari.
Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya.
Proxy Consent
Adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien, bukan baik buat orang banyak).
Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy consent adalah suami/istri, anak, orang tua, saudara kandung, dst.
Proxy consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.
Konteks dan Informed Consent
Doktrin Informed Consent tidak berlaku pada 5 keadaan :
1. Keadaan darurat medis
2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat
3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)
4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien yang melepaskan haknya memberikan consent.
5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.
Contextual circumstances juga seringkali mempengaruhi pola perolehan informed consent. Seorang yang dianggap sudah pikun, orang yang dianggap memiliki mental lemah untuk dapat menerima kenyataan, dan orang dalam keadaan terminal seringkali tidak dianggap “cakap” menerima informasi yang benar – apalagi membuat keputusan medis. Banyak keluarga pasien melarang para dokter untuk berkata benar kepada pasien tentang keadaan sakitnya.
Sebuah penelitian yang dilakukan Cassileth menunjukkan bahwa dari 200 pasien pengidap kanker yang ditanyai sehari sesudah dijelaskan, hanya 60 % yang memahami tujuan dan sifat tindakan medis, hanya 55 % yang dapat menyebut komplikasi yang mungkin timbul, hanya 40 % yang membaca formulir dengan cermat, dan hanya 27 % yang dapat menyebut tindakan alternatif yang dijelaskan. Bahkan Grunder menemukan bahwa dari lima rumah sakit yang diteliti, empat diantaranya membuat penjelasan tertulis yang bahasanya ditujukan untuk dapat dimengerti oleh mahasiswa tingkat atas atau sarjana dan satu lainnya berbahas setingkat majalah akademik spesialis.
 Keluhan pasien tentang proses informed consent :
• Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis
• Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk tanya – jawab.
• Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi
• Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.
 Keluhan dokter tentang informed consent
• Pasien tidak mau diberitahu.
• Pasien tak mampu memahami.
• Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.
• Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.










BAB III
PEMBAHASAN

Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana. Namun, kalau sampai diajukan ke Pengadilan tetap terkatung-katung tidak ada kunjung penyelesaiannya, lantas apa gunanya? Di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, masalah dugaan malpraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi.
Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran. Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar. Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit. Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu. Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak (breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (hukumonliine.com, 17 April 2004).
Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan, semuanya merupakan Pe-Er besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik Kedokteran.
Akan tetapi, benarkah demikian? Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien. Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan. RUU Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat dieliminasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi. Salah satu upaya untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent (persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini angat perlu tidak hanya ntuk melindungi dar kesewenangan tenaga keehatan seprti doter atau bidan, tetapi juga diperlukanuntuk melindungi tenaga kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-undangan malpraktek).
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah No 18 tahun 1981 yaitu:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).





BAB IV
PENUTUP

Menurut teori dan doktrin, sesuatu tindakan praktik kedokteran yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dapat dikategorikan sebagai perbuatan malpraktik dokter dilihat dari 3 aspek/hal:
1. Intensional Professional Misconduct, yaitu bahwa seorang dokter atau dokter gigi dinyatakan bersalah/buruk berpraktik, bilamana dokter tersebut dalam berpraktik melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap standar-standar dan dilakukan dengan sengaja. Dokter yang berpraktik dengan tidak mengindahkan standar-standar dalam aturan yang ada dan tidak ada unsur kealpaan/kelalaian. Misalnya seorang dokter atau dokter gigi sengaja membuat keterangan palsu atau tidak sesuai dengan diagnosis ataupun memang sama sekali tidak melakukan pemeriksaan. Seorang dokter membuka rahasia pasien dengan sengaja tanpa persetujuan pasien ataupun tanpa permintaan penegak hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang.
2. Negligence atau tidak sengaja (kelalaian) yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang karena kelalaiannya (culpa) yang mana berakibat cacat atau meninggalnya pasien. Seorang dokter atau dokter gigi lalai melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sesuai dengan keilmuan kedokteran, maka hal ini masuk dalam kategori malpraktik, namun juga hal ini sangat tergantung terhadap kelalaian yang mana saja yang dapat dituntut atau dapat dihukum, hal ini tergantung oleh hakim yang dapat melihat jenis kelalaian yang mana. Misalnya dokter sebelum melakukan tindakan medis seharusnya melakukan sesuatu terlebih dahulu namun itu tidak dilakukan atau melakukan sesuatu tapi tidak sempurna seperti halnya kasus di atas.
3. Lack of Skill yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan medis tetapi diluar kompetensinya atau kurang kompetensinya. Misalnya, dokter cardiofaskuler melakukan operasi tulang.
Ketiga hal tersebut diatas itulah berdasarkan teori masuk kategori malpratik namun bagaimana secara yuridis atau aturan hukum positif kita. Dalam undang-undang kesehatan maupun dalam undang-undang praktik kedokteran tidak ada satu kata pun yang menyebut kata malpraktik. Pada undang-undang kesehatan menyebut kesalahan/kelalaian yang dilakukan dokter atau doker gigi dan dalam undang-undang praktik kedokteran menyebut kata kesalahan saja. Begitu pula dalam kitab undang-undang hukum pidana maupun kitab undang-undang hukum perdata hanya menyebut kata kesalahan dan kelalaian. Bilamana kita menelaah dan mengkaji tentang malpraktik dalam hukum positif kita, maka dapatlah dikatakan bahwa malpraktik yang dimaksud itu adalah perbuatan-perbuatan yang jelek atau buruk yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang dikarenakan karena adanya kesalahan atau kelalaian oleh dokter atau dokter gigi yang berakibat cacatnya pasien atau matinya pasien ataupun akibat lain terhadap pasien.











DAFTAR PUSTAKA

Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005
Hermien Hardiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medis, Airlangga Universitas, Press, Surabaya, 1984.

Sabir Alwy, Mal praktik di Rumah Sakit, Makalah, Jakarta, 2006.
Sofwan Dahlan, 2003, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang hal 37
Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
Abdul gani, Mal Praktik ditinjau Dari Segi Ilmu Hukum, Makalah, Denpasar, 1987

http://news.okezone.com/read/2010/04/29/340/327770/korban-malpraktik-jadi-dua-kaki-divonis-patah

Makalah Malpraktek Euthanasia


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Malpraktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan oleh dokter pada umumnya didalam situasi dan kondisi yang sama (Berkhouwer & Vorsman, 1950).
Keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.
Untuk pertama kali di Indonesia seseorang yang mengakhiri penderitaan orang lain dengan cara disuntik mati diajukan oleh keluarga pasien kepada negara. Adalah Hassan Kusuma yang memohon izin menyuntik mati istrinya, Agian Isna Nauli yang tergolek tak berdaya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sejak dua bulan terakhir. Agian tak sadarkan diri sehari setelah dioperasi caesar di Rumah Sakit Islam (RSI) Bogor, Jawa Barat, 20 Juli 2004.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang dokter? Untuk diketahui, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum ihwal standar profesi kedokteran yang bisa mengatur kesalahan profesi.
Sebenarnya kasus malpraktek bukanlah barang baru. Sejak bertahun-tahun yang lalu, kasus ini cukup akrab di Indonesia. Makalah ini akan membahas tentang malpraktek ditinjau dari hukum dan etika.
Menurut Coughlin's Dictionary Of Law: Malpractice may be the result of ignorance,neglec,orlack of skill or fidelity in the performance of profesional duties; intentional wrongdoing ;ol illegal or unethical practice (malpraktek bisa diakibatkan kareba sikap kurang keterampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanakan kewajiban profesional;tindakan salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis). Menurut Di Oxford Illustrated dictionary, 2nded,1975: Malpraktice = Wrongdoing;(law) Improper treatment of patient by medical attendant;illegal action for one's owun benefit while I position of trust. (Malpraktek=Sikap atau tindakan yang salah; (hukum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medik; tindakan yang ilegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan).
Perumusan dari banyak penulis lainnya,tidak jauh berbeda dari perumusan-perumusan tersebut diatas. Akan tetapi inti dari pada perumusan malpraktek tersebut di atas, serta menurut hokum yang berlaku di indonesia, kurang lebih adakah sebagai berikut: malpraktek adalah perbuatan dokter/tenaga kesehatan lainnya pada waktu menjalankan tugas profesinya yang bertentangan atau melanggar atau tindak/kurang hati-hati memperhatikan ketentuan atau prsyaratan yang berlaku untuk setiap tingkt keadaan penyakit pasien yang ditanganinya, baik menurut paraturan perundangan maupun ukuran kepatutan atau ukuran ilmu kedokteran yang dapat dipertanggung jawabkan serta menurut ukuran profesionalitas dan menimbulkan akibat yang merugikan pasien/keluarganya.
Dengan mencermati rumusan-rumusan malpraktek seperti dikutip diatas,maka dalam pengertian malpraktek mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja, (Intentional, dolus, opzettelijk) melanggar undang-undang dan ketidaksengajaan (Culpa,negligance), Kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh. sembrono, tak perduli terhadap kepentingan orang lain.
Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP, kode etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian dan kematian pada orang lain. Biasanya malpraktik dilakukan oleh kebanyakan dokter di karenakan salah diagnosa terhadap pasien yang akhirnya dokter salah memberikan obat.
Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik yang terjadi di beberapa rumah sakit, kasus yang paling buming di bicarakan di media-media adalah kasus prita mulyasari. Ia mengaku adalah korban malpraktik di rumah sakit Omni internasional. Tidak hanya kasus Prita saja, masih banyak lagi kasus-kasus lain. Pihak rumah sakit berlindung pada nama besarnya.

B. Perumusan Masalah
Hukum terlihat begitu memihak pada pihak yang lebih memiliki kuasa dan uang. Hukum lemah dalam memperjuangkan hak rakyatnya yang telah menjadi korban malpraktik.
Sebenarnya siapa yang paling bersalah dalam kasus seperti ini? Tentu saja pihak rumah sakit. Mengapa rumah sakit tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang telah dilakukan? Haruskah mempersulit masalah seperti ini demi melindungi nama baik rumah sakit?. Dengan tersebarnya kasus seperti ini walaupun belum terungkap yang sebenarnya, nama rumah sakit tersebut sudah mendapat keraguan dari masyarakat. Tidak ada asap jika tidak ada api. Kasus ini timbul karena kesalahan dari pihak rumah sakit. Mengapa kasus ini harus dibesar-besarkan yang justru membuat nama rumah sakit tersebut tercemar? Yang dibutuhkan dalam hal ini adalah pertanggung jawaban bukan fakta yang dibalikkan. Pasien yang justru dirugikan dan tidak mendapat pertanggung jawaban.



















BAB II
TINJAUAN KASUS

Untuk pertama kali di Indonesia seseorang yang mengakhiri penderitaan orang lain dengan cara disuntik mati diajukan oleh keluarga pasien kepada negara. Adalah Hassan Kusuma yang memohon izin menyuntik mati istrinya, Agian Isna Nauli yang tergolek tak berdaya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sejak dua bulan terakhir. Agian tak sadarkan diri sehari setelah dioperasi caesar di Rumah Sakit Islam (RSI) Bogor, Jawa Barat, 20 Juli 2004.
Sang suami sudah tak sanggup lagi memikul beban ekonomi merawat istri yang dirasakan nyaris tanpa harapan kesehatannya bakal pulih kembali. Minimal kembali bisa berkomunikasi dengannya.
..…kematian seyogianya tetap ada pada tangan Tuhan. Dengan kata lain, biarkanlah hak untuk hidup tetap di tangan Tuhan saja, bukan dihibahkan kepada tangan kita yang betapa kecil begini……

Sumber : http://www.mentaritimur.com/mentari/oct04/euthanasia.htm
























BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN MALPRAKTEK
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi bidan.
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

B. EUTHANASIA
B.1. Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178).

BAB IV
PEMBAHASAN

Dari sepenggal cerita di atas, permintaan Hassan untuk mengakhiri hidup istrinya dapat dikategorikan dalam euthanasia aktif. Pengertian euthanasia sendiri dapat dikategorikan dalam tiga hal:
• Euthanasia pasif: Tidak semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebenarnya tersedia untuk memperpanjang hidup seorang pasien dipergunakan.
• Euthanasia tidak langsung: Usaha untuk memperingan kematian dengan efek sampingan. Dengan harapan, pasien barangkali meninggal lebih cepat. Dalam hal ini termasuk pemberian segala macam obat narkotika, hipnotika, dan analgetika yang secara tidak langsung dapat memperpendek kehidupan walaupun hal tersebut tidak disengaja.
• Euthanasia aktif: Proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung.
Jika dilihat dari sudut pandang hukum, hukum positif dengan tegas melarang euthanasia. Pasal 344 KUHP menyatakan: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain, atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun. Ketentuan yuridis ini diperkuat dengan kode etik kedokteran pasal 10 yang menegaskan: Seorang dokter harus senantiasa ingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Euthanasia atau tindakan apapun yang berakibat kematian seseorang jelas dengan tegas ditolak. Bahkan itu dapat dituntut ke pengadilan dengan dakwaan pembunuhan. Meskipun dalam KUHP tidak disebutkan secara eksplisit mengenai euthanasia, namun yang dimaksud disini adalah euthanasia aktif.

Larangan demikian, diperkuat oleh kenyataan religiusitas masyarakat. Sehingga tidak ada pembenaran dari aspek mana pun yang memperkenankan euthanasia. Dengan kata lain, di Indonesia NO Euthanasia. Meskipun beberapa Negara seperti Belanda, Belgia dan Negara bagian Oregon AS sudah melegalkan euthanasia.
Yang sering terjadi ditengah masyarakat adalah euthanasia pasif dan hal ini sering tidak disadari dan dibiarkan berlalu. Pasien sekarat yang karena alasan ekonomi terpaksa tidak bisa mendapatkan pertolongan medis yang layak, sehingga harus menghadapi ajal bukan pada jamnya. Contoh lain adalah, seorang pasien koma yang hidupnya diulur berkat bantuan mesin jantung dan paru-paru, sewaktu-waktu bisa langsung ajal juga jika mesin penunjang hidup itu dihentikan.
Pasien demikian tidak meninggal secara alami, melainkan meninggal sebelum waktunya. Pasien sesungguhnya masih punya harapan untuk tidak kehilangan nyawa. Itu lantaran sebetulnya harapan untuk hidup masih berada ditangan kekuasaan manusia. Kalau saja ia kecukupan ekonomi, kematian yang tidak harus terjadi itu belum akan terjadi. Dan kalau saja mesin penyambung hidup itu tidak dihentikan, kematian bukan pada jamnya itu belum akan terjadi.
Demikian juga dengan kasus euthanasia. Kendati setiap orang merasa punya hak untuk mati, tapi kematian seyogianya tetap ada pada tangan Tuhan. Dengan kata lain, biarkanlah hak untuk hidup tetap di tangan Tuhan saja, bukan dihibahkan kepada tangan kita yang betapa kecil begini. Namun, dengan memilih euthanasia, kekuasaan jadi berbelok pada tangan manusia. Termasuk itu juga argumentasinya untuk kasus yang di mata medis sudah tidak ada harapan untuk sembuh. Bukankah kita sebagai umat percaya masih menyimpan sepotong mukjizat dalam keyakinan kita. Hukum suatu negara boleh saja berpihak terhadap euthanasia, tapi kekuasaan Tuhan tak elok kalau sampai kita belokkan.
Sekarang dengan semakin majunya ilmu kedokteran, bayi cacat dalam kandungan sudah bisa dideteksi sebelum berumur 3 bulan. Siapa saja bisa memutuskan apa saja kalau sampai pada pertimbangan jika akibat kecacatannya ia akan menyusahkan orang lain, sepanjang hidupnya harus terus bergantung pada orang lain, buat apa tetap dibiarkan lahir. Euthanasia bayi sering merupakan bagian dari keputusan dengan akal sehat juga.
Buat orang beragama, keputusan yang mendahului tangan Yang Di Atas, tentu bukanlah sikap yang arif. Manusia tidak pernah tahu apa rencana Tuhan buat kita ke depan, termasuk buat pasien yang menurut anggapan kita, ramalan dokter, pendapat ilmu dan teknologi kedokteran telah dianggap sudah tidak punya harapan lagi















BAB V
PENUTUP

Secara etimologi, euthanasia berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti baik, dan thanatos yang berarti kematian. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam (1997) disebutkan, euthanasia adalah tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan seseorang agar terbebaskan dari kesengsaraan yang diderita. Tindakan ini dilakukan terhadap pasien yang tidak memunyai harapan sembuh.
Memudahkan proses kematian dengan cara pasif (euthanasia pasif), yang diistilahkannya sebagai euthanasia negatif (taisir al-maut al-munfa'il), demikian kata Yusuf Qardhawi, hukumnya jaiz (boleh), alias tidak haram. Termasuk dalam kategori euthanasia negatif adalah menghentikan pengobatan atau tidak memberikan pengobatan terhadap pasien yang menurut keyakinan dokter kalaupun obat itu tetap diberikan tidak ada gunanya.
Alasan yang dikemukakan adalah, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan imam mazhab, bahwa pada prinsipnya mengobati atau berobat hukumnya tidak wajib, alias mubah. Namun, jika sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan Sunnatullah, hukumnya wajib berobat. Sebaliknya, jika sudah tidak ada harapan untuk sembuh, sesuai dengan Sunnatullah dan hukum sebab-akibat yang diketahui oleh para dokter, maka melanjutkan pengobatannya hukumnya tidak wajib.
Disamping itu, secara sosiologis, merampas nyawa orang berdasarkan kemauan sendiri juga melanggar hak asasi manusia. Ini sebagaimana diatur pada Tap MPR No XVII/MPR/1998 dan Amandemen UUD 45 Pasal 28 a. Terlebih, bila ditinjau dari sudut agama, sebagaimana fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), bahwa euthanasia hukumnya haram.
Dalam hal ini benar-benar hukum harus berlaku adil tanpa memandang siapa dan apa kekuasaan yang dimiliknya. Siapapun dia kalau memang bersalah harus dihukum sesuai dengan kesalahannya. Dalam kasus seperti ini, ada sanksi bagi tim medis atau dokter yang melakukan malpraktik akibat unsur kesengajaan dan kelalaian. Dalam Undang-undang KUHP pasal 360 yang berbunyi:
(1) ‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’.
(2) ‘Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharia selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah’.














DAFTAR PUSTAKA
Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005
Hermien Hardiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medis, Airlangga Universitas, Press, Surabaya, 1984.

Sabir Alwy, Mal praktik di Rumah Sakit, Makalah, Jakarta, 2006.
Sofwan Dahlan, 2003, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang hal 37
Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
Abdul gani, Mal Praktik ditinjau Dari Segi Ilmu Hukum, Makalah, Denpasar, 1987

http://www.suaramerdeka.com/harian/0505/13/opi04.htm

Selasa, 29 Juni 2010

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menyusui adalah suatu proses alamiah. Berjuta-juta ibu di seluruh dunia berhasil menyusui bayinya tanpa pernah membaca buku tentang ASI bahkan ibu yang buta huruf pun dapat menyusui anaknya dengan baik. Walaupun demikian dalam lingkungan kebudayaan kita saat ini melakukan hal yang alamiah tidaklah selalu mudah (Utami Roeli, 2000).
Pemberian ASI yang baik adalah sesuai kebutuhan bayi istilahnya on demand, kalau ASI diberikan pada saat anak sudah menangis sebenarnya itu sudah terlambat karena sudah kelamin. Keberhasilan menyusui harus diawali dengan kepekaan terhadap waktu yang tepat saat pemberian ASI. Kalau diperhatikan sebelum sampai menangis bayi sudah bisa memberikan tanda-tanda kebutuhan akan ASI berupa gerakan-gerakan memainkan mulut dan lidah atau tangan di mulut. Ketepatan waktu saja tidak cukup, tak jarang kegagalan dalam menyusui terjadi. Kegagalan biasanya disebabkan karena tehnik dan posisi yang kurang tepat bukan karena produksi ASI-nya yang sedikit. Kegagalan teknis menyusui bisa terjadi karena bayi yang bersangkutan pernah menggunakan dot (www.tabloidnakita.com).
Kendala terhadap pemberian ASI telah teridentifikasi, hal ini mencakup faktor-faktor seperti kurangnya informasi dari pihak perawat kesehatan bayi, praktik-praktik rumah sakit yang merugikan seperti pemberian air dan suplemen bayi tanpa kebutuhan medis, kurangnya perawatan tindak lanjut pada periode pasca kelahiran dini, kurangnya dukungan dari masyarakat luas (Maribeth Hasselquist, 2006).
Seorang ibu dengan bayi pertamanya mungkin akan mengalami berbagai masalah, hanya karena tidak mengetahui cara-cara yang sebenarnya sangat sederhana, seperti cara menaruh bayi pada payudara ketika menyusui, isapan yang mengakibatkan puting terasa nyeri dan masih banyak lagi masalah lain. Untuk itu seorang ibu butuh seseorang yang dapat membimbingnya dalam merawat bayi termasuk dalam menyusui. Orang yang dapat membantunya terutama adalah orang yang berpengaruh besar dalam hidupnya atau disegani seperti suami, keluarga atau kerabat atau kelompok ibu-ibu pendukung ASI dan dokter atau tenaga kesehatan. Untuk mencapai keberhasilan menyusui diperlukan pengetahuan mengenai tehnik-tehnik menyusui yang benar (Soetjingsih, 1997).
Jumlah bayi di Kabupaten Lampung Timur ada 21.795 bayi, yang di beri ASI Ekslusif 8.185 (37,55%) (Profil Kesehatan Kabupaten Lampung Timur, 2005). Di desa Sidodadi dengan jumlah penduduk wanita 1.891 dan jumlah bayi sebanyak 85 bayi.
Dari data di atas, terdapat jumlah bayi di Kecamatan Sekampung sebanyak 718 bayi dan 1.430 orang ibu yang menyusui. Di Desa Sidodadi terdapat 85 bayi dengan sasaran ibu yang menyusui sebanyak 170 orang. Berdasarkan hasil prasurvei pada periode bulan (Desember 2006 - Februari 2007) di Desa Sidodadi terdapat 58 orang ibu menyusui yang terbagi dalam 4 dusun yaitu Dusun 1 terdapat : 23 orang ibu menyusui, dari 23 orang ibu menyusui yang mengalami masalah seperti puting susu lecet ada 1 orang, payudara bengkak 18 orang, dan 4 orang lainnya tidak mengalami masalah. Dusun II terdapat 13 orang ibu menyusui, dari 13 orang ibu menyusui tersebut yang mengalami masalah seperti puting lecet ada 4 orang, payudara bengkak 1 orang, dan bendungan payudara ada 1 orang dan 7 orang lainya tidak mengalami masalah. Dusun III terdapat 9 orang ibu menyusui, dari 9 orang ibu menyusui tersebut yang mengalami masalah seperti puting lecet, ada 5 orang, bendungan payudara ada 1 orang dan 3 orang lainnya tidak mengalami masalah. Dusun IV terdapat 13 orang ibu menyusui dari 13 orang tersebut yang mengalami masalah seperti puting lecet ada 6 orang, bendungan payudara 1 orang dan 6 orang lainnya tidak mengalami masalah.
Dengan cara menyusui yang benar masalah-masalah seperti payudara bengkak, puting susu lecet, radang payudara, air susu kurang, bayi bingung puting (karena pemakaian dot atau kempeng) tidak ditemukan lagi/diminimalkan.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengetahuan ibu menyusui tentang cara menyusui di Desa Sidodadi Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah “Bagaimanakah pengetahuan ibu menyusui tentang cara menyusui di Desa Sidodadi Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur tahun 2007”.





C. Ruang Lingkup Penelitian
1. Sifat Penelitian : Deskriptif
2. Subyek Penelitian : Ibu Menyusui
3. Obyek Penelitian : Pengetahuan ibu menyusui tentang cara menyusui
4. Lokasi Penelitian : Desa Sidodadi Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur
5. Waktu Penelitian : Mei 2007
6. Alasan Penelitian : Dari hasil prasurvey bulan Desember 2006-Januari 2007 terdapat ibu yang mengalami puting susu lecet sebanyak 16 orang, bendungan payudara 3 orang, payudara bengkak 19 orang, di Desa Sidodadi Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur.

D. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengetahuan ibu menyusui tentang cara menyusui di Desa Sidodadi Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur.




E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
1. Bagi Ibu Menyusui
Penelitian ini di harapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan ibu tentang cara menyusui.
2. Bagi Tempat Peneliti
Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran untuk lebih meningkatkan cara menyusui di Desa Sidodadi Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur.
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini di harapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan penulis dalam penulisan karya tulis ilmiah sebagai penerapan ilmu yang didapat dengan proses pembelajaran secara nyata dalam membuat karya tulis ilmiah.
4. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat melengkapi bacaan di perpustakaan sebagai acuan untuk penelitian sejenis dengan variabel penelitian yang lebih komplek.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu : penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002). Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu:

a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk diantaranya adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tau apa yang telah dipelajari antara lain, menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasikan, menyatakan dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi dapat diartikan juga sebagai penggunaan atau aplikasi hukum-hukum, rumus metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks dan situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis diartikan sebagai kemampuan untuk menyebarkan materi untuk suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis),
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru dengan kata lain suatu kemampuan untuk menyusu suatu formulasi baru dari formula-formula yang ada.


f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi yaitu kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau objek. Penelitian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 1997).

2. Menyusui
Ibu menyusui adalah ibu yang memberikan air susu kepada bayi dan sebagainya untuk diminum dari buah dada (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

3. Pengertian Air Susu Ibu (ASI)
ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein lactase dan garam-garam organik yang disekresikan oleh kedua belah kelenjar payudara ibu sebagai bahan makanan utama bagi bayi (Soetjiningsih, 1997).
Pada bayi normal bayi sudah dapat disusui segera setelah lahir. Lama disusi satu dua menit pada setiap payudara. Dengan menghisapnya bayi terjadi perangsangan pembuatan air susu dan secara tidak langsung rangsangan isap membantu proses pengecilan uterus. Air susu yang pertama keluar disebut colostrum. Walau hanya dihisap beberapa tetes tetapi sudah cukup untuk kebutuhan bayi pada hari-hari pertama kehidupannya. Pada hari ke-3, bayi sudah harus menyusu selama 10 menit pada mamae ibu dengan jarak waktu 3-4 jam (Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 3).
Pemberian ASI merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi pada umur 6 bulan pertama kehidupanya. Jika ada pemberian ASI masa ini bayi dapat kekurangan gizi dan mudah terserang penyakit. Keadaan ini akan berdampak pada anak dikemudian hari bahkan dapat berakibat pada kematian. Masalah pemberian ASI pada bayi muda cukup bulan biasanya berkaitan dengan jumlah asupan ASI yang kurang. Masalah pemberian ASI pada bayi kurang bulan biasanya berkaitan dengan jumlah asupan ASI yang kurang. Masalah pemberian ASI pada bayi kurang bulan biasanya terkait dengan reflek hisap yang belum sempurna (MTBS, Modul 6).

a. Reflek Pembentukan/Produksi dan Pengeluaran ASI
Pada ibu yang menyusui dikenal dengan 2 reflek yang masing-masing berperan sebagai pembentukan dan pengeluaran air susu yaitu :
Reflek Prolaktin :
“ Prolaktin : dirangsang hormon prolaktin kelenjar hipofise bagian depan di dasar otak. Proses pengisapan merangsang ujung syaraf disekitar payudara, saraf ini membawa pesan kebagian depan kelenjar hipophisa untuk memproduksi prolaktin, prolaktin dialirkan oleh darah ke kelenjar payudara untuk merangsang pembuatan ASI”.
Reflek “Let Down”
“Isapan bayi merangsang saraf sekitar payudara, saraf membawa pesan ke bagian belakang kelenjar hipofise, keluar hormon oksitosin dialirkan darah, kontraksi sel-sel mioepitel sekitar alveoli dan duktus lactiferous mendorong ASI keluar dari alveoli melalui duktus lactiferous melalui sinus lactiferus”.

b. Mekanisme Menyusui
Bayi yang sehat memiliki 2 reflek intrinsic keberhasilan menyusui seperti :
 Reflek mencari (Rooting reflek)
Puting atau tangan diletakkan pada pipi disekitar mulut, maka akan menimbulkan reflek mencari pada bayi.
 Reflek menghisap (Sucking reflek)
Rahang menekan kalang payudara dengan bantuan bibir secara berirama, gusi akan menjepit kalang payudara dan sinus lactiferous, sehingga air susu akan mengalir.
 Reflek menelan (swallowing reflek)
Pada saat air susu keluar dari puting susu akan disusul dengan gerakan menghisap sehingga air susu akan bertambah dan diteruskan dengan mekanisme menelan dan masuk ke lambung (Soetjiningsih, 1997)




4. Langkah-langkah Menyusui yang Benar
a. Sebelum menyusui ASI dikeluarkan sedikit, kemudian dioleskan pada puting dan di sekitar payudara. Cara ini mempunyai manfaat sebagai desinfektan dan menjaga kelembaban puting susu.
b. Bayi diletakkan menghadap perut ibu/payudara.
 Ibu duduk atau berbaring dengan santai, bila duduk lebih baik menggunakan kursi yang rendah (agar kaki ibu tidak menggantung) dan punggung ibu bersandar pada sandaran kursi.
 Bayi dipegang pada belakang bahunya dengan satu lengan, kepala bayi terletak pada lengkung siku ibu (kepala tidak boleh menengadah, dan bokong bayi ditahan dengan telapak tangan).
 Satu tangan bayi diletakkan di belakang badan ibu, dan yang satu di depan.
 Perut bayi menempel pada badan ibu, kepala bayi menghadap payudara (tidak hanya membelokkan kepala bayi).
 Telinga dan lengan bayi terletak pada satu garis lurus.
 Ibu menatap bayi dengan kasih sayang.
c. Payudara dipegang dengan ibu jari di atas dan jari yang lain menopang di bawah, jangan menekan puting susu atau kalang payudaranya saja.
d. Bayi diberi rangsangan agar membuka mulut (rooting reflex) dengan cara:
 Menyentuh pipi dengan puting susu atau,
 Menyentuh sisi mulut bayi.







Gambar 1. Cara meletakkan bayi dan memegang payudara.

e. Setelah bayi membuka mulut, dengan cepat kepala bayi didekatkan ke payudara ibu dan puting serta payudara dimasukkan ke mulut bayi :
 Usahakan sebagian besar payudara dapat masuk ke mulut bayi, sehingga puting susu berada di bawah langit-langit dan lidah bayi akan menekan ASI keluar dari tempat penampungan ASI yang terletak di bawah payudara. Posisi yang salah, yaitu apabila bayi hanya mengisap pada puting susu saja, akan mengakibatkan masukan ASI yang tidak adekuat dan puting susu lecet.
 Setelah bayi mulai menghisap payudara tak perlu dipegang atau disangga lagi.




Cara Pengamatan Teknik Menyusui Yang Benar
Teknik menyusui yang tidak benar dapat mengakibatkan puting susu menjadi lecet, ASI tidak keluar optimal sehingga mempengaruhi produksi ASI selanjutnya atau bayi enggan menyusu. Untuk mengetahui bayi telah menyusu dengan teknik yang benar, dapat dilihat:
 bayi tampak tenang,
 badan bayi menempel pada perut ibu,
 mulut bayi terbuka lebar,
 dagu menempel pada payudara ibu,
 sebagian besar payudara masuk ke dalam mulut bayi,
 bayi tampak menghisap kuat dengan irama perlahan,
 puting susu ibu tidak terasa nyeri,
 telinga dan lengan bayi terletak pada satu garis lurus,
 kepala tidak menengadah. (ASI, Soetjiningsih, 1997)
f. Melepas isapan bayi
Setelah menyusui pada satu payudara sampai terasa kosong, sebaiknya diganti dengan payudara yang satunya. Cara melepas isapan bayi:
 jari kelingking ibu dimasukkan ke mulut bayi melalui sudut mulut atau,
 dagu bayi ditekan ke bawah.
g. Setelah selesai menyusui, ASI dikeluarkan sedikit kemudian dioleskan pada puting susu dan di sekitar payudara; biarkan kering dengan sendirinya.
h. Menyendawakan bayi.
Tujuan menyendawakan bayi adalah mengeluarkan udara dari lambung supaya bayi tidak muntah (gumoh - Jawa) setelah menyusui. Cara menyendawakan bayi adalah:
 Bayi digendong tegak dengan bersandar pada bahu ibu, kemudian punggung ditepuk perlahan-lahan,
 Bayi tidur tengkurap di pangkuan ibu kemudian punggungnya ditepuk perlahan-lahan. (Mary Beth Hasselauist, 2006)






Gambar 2. Menyendawakan bayi


5. Tanda Bayi Cukup ASI
Bayi kencing setidaknya 6 x dalam 24 jam dan warnanya jernih sampai kuning muda, bayi sering BAB berwarna kekuningan “berbiji”, bayi tampak puas, sewaktu-waktu merasa lapar, bangun dan cukup tidur, menyusu 10-12 x dalam 24 jadi, payudara ibu terasa lembut setiap kali selesai menyusui. Ibu dapat merasakan geli karena aliran ASI setiap kali bayi mulai menyusu. Bayi bertambah berat badannya.
Tanda-tanda penyusuan yang tidak efektif
a. Bibir bayi mengkerut meskipun ia menghisap dengan sedotan
b. Bibirnya kelihatan tenggelam, karena jaringan susu tidak cukup mengisi mulutnya.
c. Terdengar bunyi ceklekan selama menyusui
d. Anda tidak mendengarnya menelan
e. Ia tergelincir dari payudara dengan penuh ketakutan
f. Putting susu merasa sakit setelah menit pertama.
(Mary Beth Hasselauist, 2006)
g. Bayi mengisap dengan isapan yang cepat dan dangkal
h. Dapat terlihat lakukan pada pipi
i. Bayi tampak belum kenyang dan tidak tenang, ia akan menangis dan mencoba untuk mengisap.
(Emelia-Hamzah, 2001)

6. Masalah-masalah yang Timbul dalam Masa Laktasi
a. Puting datar atau terbenam
Mengatasinya dapat dilakukan dengan jalan menarik-narik puting, sejak hamil harus menyusui agar sering tertarik.




b. Puting lecet (sore or cracked nipples)
Puting mengalami lecet, retak atau terbentuk celah. Hal ini dapat hilang dengan sendirinya jika ibu merawat payudara secara baik dan teratur. Caranya :
 Olesi puting susu dengan ASI setiap kali akan dan sudah menyusui, hal ini mempercepat sembuhnya lecet dan rasa perih
 Jangan menggunakan BH yang terlalu ketat
 Jangan membersihkan puting dan aerola dengan sabun, alcohol dan obat0obatan yang merangsang putting susu.
 Posisi menyusui yang bervariasi, jika dengan posisi yang sama dapat membuat trauma yang terus-menerus di tempat yang sama sehingga memudahkan terjadinya lecet.

Cara mengatasi puting lecet :
 Jika rasa nyeri dan lecet tidak terlalu berat, ibu dapat menyusui pada daerah yang tidak nyeri. Untuk mengurangi rasa sakit, oles puting susu dengan es beberapa saat. Proses menyusui dengan tenang dan bernafas dalam-dalam sampai ASI mengalir keluar dan rasa perih berkurang
 Jika rasa nyeri berlangsung hebat atau luka semakin berat, putting yang sakit diistirahatkan selama 24 jam. ASI tetap dikeluarkan dengan tangan (diperah) dan diberikan kepada bayi.
c. Payudara bengkak (Breast Engorgement)
Terjadi karena hambatan aliran vena atau saluran kelenjar getah bening akibat ASI terkumpul dalam payudara. Untuk mengatasinya :
 Kompres payudara dengan handuk hangat, masase ke arah putting, hingga payudara terasa lemas dan ASI dapat keluar melalui puting, hingga payudara terasa lemas dan ASI dapat keluar melalui puting.
 Susukan bayi tanpa dijadwal sampai payudara terasa kosong
 Urut payudara mulai dari tengah lalu kedua telapak tangan ke samping, ke bawah dengan sedikit ke atas dan lepaskan dengan tiba-tiba.
 Keluarkan ASI sedikit dengan tangan agar payudara menjadi lunak dan putting susu menonjol keluar
 Susukan bayi lebih sering

d. Saluran susu tersumbat (Obstructed duct)
Timbul karena tekanan jari pada waktu menyusui, pemakaian BH yang terlalu ketat, adanya komplikasi payudara bengkak yang tidak segera diatasi. Jika ibu merasa nyeri, payudara dapat dikompres dengan air hangat sebelum menyusui dan setelah menyusui untuk mengurangi rasa nyeri dan bengkak.


e. Mastitis dan Abses Payudara
Mastitis adalah peradangan pada payudara. Bagian yang terkena menjadi merah, bengkak, nyeri dan panas. Suhu meningkat kadang-kadang disertai menggigil. Terjadi pada masa 1-3 minggu setelah melahirkan. Cara mengatasinya berkonsltasi pada dokter untuk mendapatkan terapi antibiotic dan obat penghilang rasa sakit. Ibu harus banyak beristirahat dan tetap menyusui bayinya.
Mastitis yang tidak diobati akan berlanjut ke abses, ibu tampak kesakitan, payudara merah mengkilap, dan benjolan mengandung cairan berupa nanah. Sementara berhenti menyusu pada bagian yang terkena, susukan bayi pada payudara yang sehat. Dokter melakukan tindakan pengeluaran nanah dan memberi antibiotic serta obat penahan rasa sakit (Puspa Swara, 2003).

7. Beberapa masalah yang sering terjadi ketika bayi menyusui
a. Bayi Bingung Puting
Keadaan bayi yang mengalami nipple confusion karena diberi susu formula dalam botol bergantian dengan menyusu pada ibu. Bila bayi menyusu pada ibu, bayi harus bekerja keras untuk menarik dan mengurut puting dan aerola sehingga keluar ASI. Tidak demikian dengan dot, dot mempunyai lubang sehingga tanpa berusaha keras dapat menelan susu tanpa diisap. Tanda bingung putting antara lain :
 Bayi menghisap puting seperti menghisap dot
 Waktu menyusu terputus-putus/sebentar-sebentar menyusu
 Bayi menolak menyusu pada ibu.
Cara mencegah puting susu antar lain usahakan bayi untuk menyusu pada ibu, proses menyusui lebih sering, lebih lama tanpa terjadwal, lakukan penyusuan dengan lebih sabar, teliti dan telaten.

b. Bayi enggan Menyusu
Bayi perlu mendapat perhatian khusus jika ia enggan menyusu terutama jika muntah, diare, mengantuk, kuning, dan kejang-kejang.
Penyebab bayi enggan menyusu :
 Hidung tertutup lendir/ingus karena pilek sehingga sulit untuk mengisap / bernafas.
 Terlambat mulai menyusui, bayi ditinggal lama karena ibu sakit / bekerja
 Bayi di samping diberi ASI diberi dot juga
 Bayi dengan prelateal feeding atau mendapat makanan tambahan terlalu dini.
 ASI kurang lancar/terlalu deras
 Bayi dengan frenulum linguage (tali lidah) pendek yang disebut dengan short tongue tie.

c. Bayi sering menangis
Mungkin karena lapar, takut, kesepian, bosan, popok basah / kotor. 84% dapat ditanggulangi dengan cara menyusui bayi dengan tehnik yang benar sampai tangis bayi dapat dihentikan, kecuali jika bayi sakit perlu mendapat penanganan tersendiri.

d. Bayi Kembar
Bayi dapat disusukan bersama atau bergantian, jika bersamaan ibu dapat mengambil posisi “memegang bola”, kombinasi atau biasa. Posisi memegang bola : memegang kepala dengan satu tangan, badan bayi berada di lengan ibu dengan kedua kaki ke arah punggung ibu, dipakai pad saat menyusui secara bersamaan.
Posisi kombinasi : satu bayi disusukan secara biasa, sedangkan bayi yang lain dengan posisi memegang bola. Posisi biasa : dengan cara memangku bayi dengan kepala/tengkuk berada pada siku ibu bagian dalam.





e. Bayi sumbing
Bayi dengan sumbing, langit-langit lembek (palatum mole) dapat menyusu tanpa kesulitan dengan cara : dengan memberikan posisi tegak atau berdiri agar ASI tidak masuk ke dalam hidung bayi. Apabila sumbing itu hanya pada bibir atas saja, bayi dapat menyusu sambil ibu menutup sumbing tersebut dengan jari agar bayi dapat menghisap dengan sempurna. Hal paling sulit terjadi jika sumbing ganda atau, yaitu pada langit-langit keras (palatum durum) dan bibir sehingga bayi sulit menghisap/menangkap puting susu dengan sempurna.
Jika posisi seperti tersebut ASI dapat dikeluarkan dengan manual/pompa dan diberikan dengan sendok, pipet/botol dot, yang mempunyai bentuk seperti putting susu sapi atau kambing, jika sulit mendapatkannya, gunakan dua dot yang disambung sehingga ukuranya lebih panjang.

f. Ikterus pada neonatus
Ikterus patologi terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi lahir. Hal ini terjadi karena infeksi atau terkena intoksikasi obat. Pada ikterus dini tindakan yang dikerjakan terapi sinar (phototheraphy). Dengan cara ini, energi sinar akan mengubah senyawa bilirubin menjadi senyawa yang mudah larut dalam air untuk dieksresikan (dikeluarkan).
8. Keunggulan ASI terhadap Susu Lainnya.
Keunggulan ASI terhadap susu lainnya antar lain :
 Murah, sehat, dan mudah dm memberikannya
 Mengandung zat yang dapat meninggikan daya tahan anak terhadap penyakit.
 Mengandung cukup banyak makanan yang diperlukan oleh bayi
 Menyusui berarti menjalin kasih sayang ibu terhadap anak.
 Menyusui mempercepat ibu menjadi langsung kembali sesudah melahirkan
(file : ii c :/ docume~1/micros~1/local~1/rem/oxe 1300e%.html).

B. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2005). Agar konsep dapat diamati, dan diukur maka konsep harus dijabarkan dalam variabel atas dasar tersebut maka sebagai variabel dalam penelitian ini adalah pengetahuan ibu nifas tentang cara ibu menyusui.





Jika digambarkan dalam kerangka konsep adalah sebagai berikut :









Gambar 3. Kerangka Konsep Penelitian


C. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional digunakan untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel diamati atau diteliti. Definisi operasional ini juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran dan pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen atau alat ukur (Notoatmodjo, 2005).















Tabel 1. Definisi Operasional


No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil ukur Skala
1 Pengetahuan Hasil tahu dan ini terjadi melalui panca indera manusia
(Notoatmodjo, 2003) Angket Kuesioner - Sangat baik
(skor 29-35)
- Baik
(skor 22-28)
- Cukup
(skor 15-21)
- Kurang
(skor 8-14)
- Sangat kurang
(skor 0-7)
Ordinal
2 Ibu Menyusui Ibu yang memiliki bayi usia 0-2 tahun dan masih menyusui


Kisi–kisi Pertanyaan Kuisioner
No. Sub Variabel Jumlah Soal Nomor Soal
1 Pengertian ASI 7 1 – 7
2 Cara menyusui 7 8 – 14
3 Tanda bayi cukup ASI 7 15 – 21
4 Keunggulan ASI 5 22 – 26
5 Masalah-masalah yang terjadi jika cara menyusui salah 9 27 – 35
JUMLAH 35

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian deskriptif, adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskriptif tentang suatu keadaan secara objektif (Notoatmodjo, 2005).


B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo 2005). Berdasarkan pendapat di atas maka yang akan menjadi populasi dalam penelitian ini adalah ibu menyusui yang memiliki bayi usia 0-2 tahun yang berada di Desa Sidodadi Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur.

2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto, 2002), selanjutnya menurut (Notoatmodjo 2005) sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah secara accidental, yaitu diambil dari responden atau kasus yang kebetulan ada.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk mengumpulkan data, instrumen ini dapat berupa pertanyaan (question), formulir observasi dan formulir-formulir lain yang berkaitan dengan penataan data dan lain-lain (Notoatmodjo, 2005).
Alat ukur yang digunakan adalah kuisioner. Kuisioner atau angket merupakan suatu cara pengumpulan data atau suatu penelitian mengenai masalah yang umumnya banyak menyangkut kepentingan umum/banyak orang (Notoatmodjo, 2002 ; 12).

D. Tehnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan wawancara, tehnik ini dilakukan dengan mengedarkan suatu daftar pertanyaan yang berupa formulir diajukan secara tertulis kepada sejumlah subjek untuk mendapatkan tanggapan informasi jawaban dan sebagainya.

E. Pengolahan Data
Setelah data terkumpul melalui angket atau kuisioner maka dapat dilakukan pengolahan data melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Seleksi Data (Editing)
Dimana penulis akan melakukan penelitian terhadap data yang diperoleh dan diteliti apakah terdapat kekeliruan atau tidak dalam penelitian.
2. Pemberian Kode (Coding)
Setelah dilakukan editing, selanjutnya penulis memberikan kode tertentu pada tiap-tiap data sehingga memudahkan dalam melakukan analisis data.
3. Pengelompokan Data (Tabulating)
Pada tahap ini jawaban-jawaban responden yang sama dikelompokan dengan teliti dan teratur lalu dihitung dan dijumlahkan kemudian dituliskan dalam bentuk tabel-tabel.

F. Analisa Data
Untuk mengetahui pengetahuan responden digunakan skor maksimal setiap pertanyaan yang dijawab benar diberi skor 1 dan pertanyaan yang dijawab salah atau tidak dijawab diberi skor 0, sehingga dari 35 pertanyaan skor maksimal 35.
 Sangat Baik : jumlah skor 29-35
 Baik : jumlah skor 22-28
 Cukup : jumlah skor 15-21
 Kurang : jumlah skor 8-14
 Sangat Kurang : jumlah skor 0-7
(Arikunto, 2005).
Untuk menghitung distribusi frekuensi kategori pengetahuan digunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan:
P = Prosentase
F = Frekuensi
N = Jumlah keseluruhan responden
100% = Konstanta
(Eko Budiarto, 2002)

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
a. Keadaan Geografi
Desa Sidodadi berada di wilayah Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur dengan luas wilayah 368 Ha.
Adapun batas-batas desa Sidodadi adalah sebagai berikut:
- Sebelah utara berbatasan dengan Sumber Gede
- Sebelah barat berbatasan dengan Bale Kencono
- Sebelah selatan berbatasan dengan Sidomulyo
- Sebelah timur berbatasan dengan Giri klopomulyo

Desa Sidodadi ini terbagi dalam 4 dusun yaitu dusun I dengan nama Kebumen, Dusun II Kuto Arjo, dusun III Magelangan dan Dusun IV bernama Gombong.

b. Demografi
Jumlah penduduk Sidodadi pada tahun 2006 adalah 3.247 jiwa dengan jumlah laki-laki: 1685 jiwa dan wanita: 1562 jiwa, jumlah KK di desa Sidodadi adalah sebanyak 858 KK.


1) Saran Pendidikan Desa Sidodadi
Sarana pendidikan yang ada di Desa Sidodadi terdiri dari SD/MI sebanyak 3 buah, SLTP/MTs sebanyak 1 buah.
2) Keadaan Penduduk berdasarkan Agama yang dianut
Sebagian besar penduduk desa Sidodadi beragama islam, dengan jumlah ± 3.203 orang, Kristen 16 orang, dan Katholik 12 orang.
3) Sarana Kesehatan Desa Sidodadi
Sarana kesehatan yang ada di desa Sidodadi hanya terdapat 4 Posyandu, 1 Polindes.

2. Hasil Penelitian
Setelah dilakukan penelitian di desa Sidodadi kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur pada tanggal 16-23 Mei 2007, maka didapatkan hasil penelitian seperti terlihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu menyusui tentang Cara Menyusui di Desa Sidodadi Kec. Sekampung Kab. Lampung Timur tahun 2007.

No. Pengetahuan Jumlah Responden Persentase
1. Sangat Baik 0 0%
2 Baik 7 20%
3 Cukup 26 74,29%
4 Kurang 2 5,71%
5 Sangat kurang 0 0%
JUMLAH 35 100%

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat dari 35 orang responden yang berpengetahuan baik terdapat 7 orang (20%), cukup 26 orang (74,29%), kurang 2 orang (5,71%).
B. Pembahasan
Pengetahuan merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2003).
Menyusui adalah suatu proses alamiah. Berjuta-juta ibu di seluruh dunia berhasil menyusui bayinya tanpa pernah membaca buku tentang ASI bahkan ibu yang buta huruf pun dapat menyusui anaknya dengan baik (Roesli, Utami, 2000). Seorang ibu dengan bayi pertamanya mungkin akan mengalami berbagai masalah, hanya karena tidak mengetahui cara-cara yang sebenarnya sangat sederhana, seperti cara menaruh bayi pada payudara ketika menyusui, isapan yang mengakibatkan puting terasa nyeri dan masih banyak lagi masalah lain.
Seorang ibu dengan bayi pertamanya mungkin akan mengalami berbagai masalah, hanya karena tidak mengetahui cara-cara yang sebenarnya sangat sederhana, seperti cara menaruh bayi pada payudara ketika menyusui, isapan yang mengakibatkan puting terasa nyeri dan masih banyak lagi masalah lain. Untuk itu seorang ibu butuh seseorang yang dapat membimbingnya dalam merawat bayi termasuk dalam menyusui. Orang yang dapat membantunya terutama adalah orang yang berpengaruh besar dalam hidupnya atau disegani seperti suami, keluarga atau kerabat atau kelompok ibu-ibu pendukung ASI dan dokter atau tenaga kesehatan. Untuk mencapai keberhasilan menyusui diperlukan pengetahuan mengenai tehnik-tehnik menyusui yang benar (Soetjingsih, 1997)


Dari uraian diatas jelaslah bahwa pengetahuan ibu menyusui tentang cara menyusui sangatlah penting. Hasil penelitian di desa Sidodadi kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur tahun 2007 pada bulan Mei menunjukan bahwa dari 35 orang responden yang berpengetahuan baik 7 orang (20%), cukup 26 orang (74,29%), kurang 2 orang (5,71%).
Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa pengetahuan ibu menyusui di desa Sidodadi kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur sebagian besar adalah berpengetahuan cukup. Walaupun masih terdapat ibu menyusui yang berpengetahuan kurang hal itu disebabkan karena masih ada ibu-ibu yang belum mengetahui tentang keunggulan ASI, cara menyusui, dan masalah-masalah yang terjadi jika cara menyusuinya tidak benar. Prosentase responden yang menjawab dengan benar, paling sedikit adalah nomor 26 yaitu 40% tentang keunggulan ASI, pertanyaan nomor. 9 yaitu 42,86% tentang posisi perut bayi pada saat menyusui, pertanyaan nomor 10 yaitu 45,71% tentang cara memegang payudara saat menyusui, pertanyaan nomor 12 yaitu 45,71% tentang alasan menyendawakan bayi, pertanyaan nomor 13 yaitu 42,86 tentang gambar menyendawakan bayi, pertanyaan nomor 14 yaitu 45,71% tentang perlekatan yang benar saat menyusui, pertanyaan nomor 25 yaitu 48,57% tentang berat badan bayi yang cukup ASI, dan pertanyaan nomor 31 yaitu 45,71% tentang masalah-masalah yang terjadi bila cara menyusuinya tidak benar.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pengetahuan ibu menyusui di desa Sidodadi kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur tahun 2007, bahwa dari 35 orang responden yang termasuk dalam kategori yang berpengetahuan baik 7 orang (20%), cukup 26 orang (74,29%), kurang 2 orang (5,71%).

B. Saran
1. Bagi Ibu Menyusui
Diharapkan kepada ibu-ibu menyusui untuk menambah pengetahuannya tentang cara menyusui agar tidak terjadi masalah-masalah dalam menyusui, sehingga dapat memberikan ASI sepenuhnya kepada bayi tanpa mengalami suatu masalah.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Diharapkan kepada bidan desa dan tenaga kesehatan lain dapat bekerjasama dengan kader dan dukun untuk melakukan penyuluhan atau bimbingan tentang keunggulan ASI, cara menyusui, masalah-masalah yang terjadi pada ibu-ibu yang memiliki bayi pada masa laktasi.


3. Bagi Peneliti lainnya
Sebagai bahan masukan dan mengkaji hal-hal yang belum dapat dimunculkan atau dibahas dalam penelitian ini.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pengetahuan ibu menyusui di desa Sidodadi kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur tahun 2007, bahwa dari 35 orang responden yang termasuk dalam kategori yang berpengetahuan baik 7 orang (20%), cukup 26 orang (74,29%), kurang 2 orang (5,71%).

B. Saran
1. Bagi Ibu Menyusui
Diharapkan kepada ibu-ibu menyusui untuk menambah pengetahuannya tentang cara menyusui agar tidak terjadi masalah-masalah dalam menyusui, sehingga dapat memberikan ASI sepenuhnya kepada bayi tanpa mengalami suatu masalah.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Diharapkan kepada bidan desa dan tenaga kesehatan lain dapat bekerjasama dengan kader dan dukun untuk melakukan penyuluhan atau bimbingan tentang keunggulan ASI, cara menyusui, masalah-masalah yang terjadi pada ibu-ibu yang memiliki bayi pada masa laktasi.


3. Bagi Peneliti lainnya
Sebagai bahan masukan dan mengkaji hal-hal yang belum dapat dimunculkan atau dibahas dalam penelitian ini.

Kamis, 06 Mei 2010

makalah Askep Solusio plasenta

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Solusio plasenta atau disebut juga abruptio placenta atau ablasio placenta adalah separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya di uterus (korpus uteri) dalam masa kehamilan lebih dari 20 minggu dan sebelum janin lahir. Dalam plasenta terdapat banyak pembuluh darah yang memungkinkan pengantaran zat nutrisi dari ibu ke janin, jika plasenta ini terlepas dari implantasi normalnya dalam masa kehamilan maka akan mengakibatkan perdarahan yang hebat. Hebatnya perdarahan tergantung pada luasnya area plasenta yang terlepas.
Frekuensi solusio plasenta adalah sekitar 1 dari 200 pelahiran. Intensitas solusio plasenta sering bervariasi tergantung pada seberapa cepat wanita mendapat pertolongan. Angka kematioan perinatal sebesar 25 %. Ketika angka lahir mati akibat kausa lain telah berkurang secara bermakna, angka lahir mati akibat solusio plasenta masih tetap menonjol.
Perdarahan pada solusio plasenta sebenarnya lebih berbahaya daripada plasenta previa oleh karena pada kejadian tertentu perdarahan yang tampak keluar melalui vagina hampir tidak ada atau tidak sebanding dengan perdarahan yang berlangsung internal yang sangat banyak. Pemandangan yang menipu inilah sebenarnya yang membuat solusio plasenta lebih berbahaya karena dalam keadaan yang demikian seringkali perkiraan jumlah darah yang telah keluar sukar diperhitungkan, padahal janin telah mati dan ibu berada dalam keadaan syok
Penyebab solusio plasenta tidak diketahui dengan pasti, tetapi pada kasus-kasus berat didapatkan korelasi dengan penyakit hipertensi vaskuler menahun, dan 15,5% disertai pula oleh preeklamsia. Faktor lain yang diduga turut berperan sebagai penyebab terjadinya solusio plasenta adalah tingginya tingkat paritas dan makin bertambahnya usia ibu.


1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
• Untuk mengetahui dan memahami asuhan keperawatan terhadap klien dengan solusio plasenta
1.2.2 Tujuan Khusus
• Untuk mengetahui dan memahami pengertian solusio plasenta.
• Untuk mengetahui dan memahami macam solusio plasenta.
• Untuk mengetahui dan memahami patologi dan etiologi dari solusio plasenta.
• Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan keperawatan dari solusio plasenta.
• Untuk mengetahui dan memahami tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien solusio plasenta

















BAB II
LANDASAN TEORI

2. 1 Pengertian
Solulusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya sebelum janin lahir diberi beragam sebutan; abruption plasenta, accidental haemorage. Beberapa jenis perdarahan akibat solusio plasenta biasanya merembes diantara selaput ketuban dan uterus dan kemudian lolos keluar menyebabkan perdarahan eksternal. Yang lebih jarang, darah tidak keluar dari tubuh tetapi tertahan diantara plasenta yang terlepas dn uterus serta menyebabkan perdarahan yang tersembunyi. Solusio plasenta dapat total atau parsial.


Gambar Normal dan Solutio Plasenta

2. 2 Klasifikasi dan Macam Solutio Plasenta
a. Solusio plasenta ringan. Perdarahannya kurang dari 500 cc dengan lepasnya plasenta kurang dari seperlima bagian. Perut ibu masih lemas sehingga bagian janin mudah di raba. Tanda gawat janin belum tampak dan terdapat perdarahan hitam per vagina.
b. Solusio plasenta sedang. Lepasnya plasenta antara seperempat sampai dua pertiga bagian dengan perdarahan sekitar 1000 cc. perut ibu mulai tegang dan bagian janin sulit di raba. Janin sudah mengalami gawat janin berat sampai IUFD. Pemeriksaan dalam menunjukkan ketuban tegang. Tanda persalinan telah ada dan dapat berlangsung cepat sekitar 2 jam.
c. Solusio plasenta berat. Lepasnya plasenta sudah melebihi dari dua pertiga bagian. Perut nyeri dan tegang dan bagian janin sulit diraba, perut seperti papan. Janin sudah mengalami gawat janin berat sampai IUFD. Pemeriksaan dalam ditemukan ketuban tampak tegang. Darah dapat masuk otot rahim, uterus Couvelaire yang menyebabkan Antonia uteri serta perdarahan pascapartus. Terdapat gangguan pembekuan darah fibribnogen kurang dari 100-150 mg%. pada saat ini gangguan ginjal mulai Nampak.

Cunningham dan Gasong masing-masing dalam bukunya mengklasifikasikan solusio plasenta menurut tingkat gejala klinisnya, yaitu:
1. Ringan : perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda renjatan, janin hidup, pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma lebih 150 mg%.
2. Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan, gawat janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%.
3. Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin mati, pelepasan plasenta dapat terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan.

2. 3 Penyebab Solusio Plasenta
• Trauma langsung Abdomen
• Hipertensi ibu hamil
• Umbilicus pendek atau lilitan tali pusat
• Janin terlalu aktiv sehingga plasenta dapat terlepas
• Tekanan pada vena kafa inferior
• Preeklamsia/eklamsia
• Tindakan Versi luar
• Tindakan memecah ketuban (hamil biasa, pada hidramnion, setelah anak pertama hamil ganda)

2. 4 Etiologi
Kausa primer solusio plasenta belum diketahui tetapi terdapat beberapa kondisi terkait, sebagai berikut:

Ris Relatif
Faktor Risiko (%)

Bertambahnya usia dan paritas NA
Preeklamsia 2.1-4.0
Hipertensi kronik 1.8-3.0
Ketuban pecah dini 2.4-3.0
Merokok 1.4-1.9
Trombofilia NA
Pemakaian kokain NA
Riwayat solusio 10-25
Leiomioma uterus NA
NA = tidak tersedia
Dikutip dari Cunningham dan Hollier (1997); data risiko dari Ananth dkk. (1999a, 1999b) dan Kramer dkk. (1997).

Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor yang menjadi predisposisi :
1. Faktor kardiorenovaskuler
Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan eklamsia. Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat hipertensi pada separuh kasus solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang hipertensi tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik, sisanya hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan. Dapat terlihat solusio plasenta cenderung berhubungan dengan adanya hipertensi pada ibu
2. Faktor trauma
Trauma yang dapat terjadi antara lain:
• Dekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli.
• Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar atau tindakan pertolongan persalinan.
• Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.
3. Faktor paritas ibu
Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara. Holmer mencatat bahwa dari 83 kasus solusio plasenta yang diteliti dijumpai 45 kasus terjadi pada wanita multipara dan 18 pada primipara. Pengalaman di RSUPNCM menunjukkan peningkatan kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu dengan paritas tinggi. Hal ini dapat diterangkan karena makin tinggi paritas ibu makin kurang baik keadaan endometrium.
4. Faktor usia ibu
Dalam penelitian Prawirohardjo di RSUPNCM dilaporkan bahwa terjadinya peningkatan kejadian solusio plasenta sejalan dengan meningkatnya umur ibu. Hal ini dapat diterangkan karena makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi menahun.
5. Leiomioma uteri (uterine leiomyoma) yang hamil dapat menyebabkan solusio plasenta apabila plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung leiomioma.
6. Faktor pengunaan kokain
Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan pelepasan katekolamin, yang mana bertanggung jawab atas terjadinya vasospasme pembuluh darah uterus dan dapat berakibat terlepasnyaplasenta . Namun, hipotesis ini belum terbukti secara definitif. Angka kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu penggunan kokain dilaporkan berkisar antara 13-35%.


7. Faktor kebiasaan merokok
Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio plasenta sampai dengan 25% pada ibu yang merokok ≤ 1 (satu) bungkus per hari. Ini dapat diterangkan pada ibu yang perokok plasenta menjadi tipis, diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada mikrosirkulasinya. Deering dalam penelitiannya melaporkan bahwa resiko terjadinya solusio plasenta meningkat 40% untuk setiap tahun ibu merokok sampai terjadinya kehamilan.
8. Riwayat solusio plasenta sebelumnya
Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio plasenta adalah bahwa resiko berulangnya kejadian ini pada kehamilan berikutnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil lainnya yang tidak memiliki riwayat solusio plasenta sebelumnya.
9. Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena cava inferior dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya kehamilan, dan lain-lain.

2. 5 Patologi
Solusio plasenta di awali perdarahan kedalam desidua basalis. Desidua kemudian terpisah, meninggalkan satu lapisan tipis yang melekat ke endometrium. Akibatnya, proses ini pada tahapnya yang paling awal memperlihatkan pembentukan hematom desidua yang menyebabkan pemisahan, penekanan, dan akhirnya destruksi plasenta yang ada di dekatnya. Pada tahap awal mungkin belum ada gejala klinis.
Pada beberapa kasus, arteri spiralis desidua mengalami rupture sehingga menyebabkan hematom retroplasenta, yang sewaktu membesar semakin banyak pembuluh darah dan plasenta yang terlepas. Bagian plasenta yang memisah dengan cepat meluas dan mencapai tepi plasenta. Karena masih teregang oleh hasil konsepsi, uterus tidak dapat beronntraksi untuk menjepit pembuluh darah yang robek yang memperdarahi tempat implantasi plasenta. Darah yang keluar dapat memisahkan selaput ketuban dari dinding uterus dan akhirnya muncul sebagai perdarahan eksternal, atau mungkin tetap tertahan dalam uterus.
2. 6 Gambaran Klinis
Solutio plasenta ringan
Terjadi rupture sinus masrginalis. Bila terjadi perdarahan pervaginam warna merah kehitaman, perut terasa agak sakit atau terus menerus agak tegang. Tetapi bagian-bagian janin masih teraba

Solution plasenta sedang
Plasenta telah terlepas seperempat sampai duapertiga luas permukaan. Tanda dan gejala dapat timbul perlahan seperti pada solution plasenta ringan atau mendadak dengan gejala sakit perut terus menerus, nyeri tekan, bagian janin sukar di raba., BJA sukar di raba dengan stetoskop biasa. Sudah dapat terjadi kelainan pembekuan darah atau ginjal.

Solution plasenta berat
Plasenta telah lepas lebih duapertiga luas permukaannya, terjadi tiba-tiba, ibu syok janin meningggal. Uterus tegang seperti papan dan sangat nyeri. Perdarahan pervaginam tidak sesuai dengan keadaan syok ibu. Besar kemungkinan telah terjadi gangguan pembekuan darah dan ginjal.



2. 7 Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas, usia kehamilan dan lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu :
1. Syok perdarahan
Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan telah diselesaikan, penderita belum bebas dari perdarahan postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala III persalinan dan adanya kelainan pada pembekuan darah. Pada solusio plasenta berat keadaan syok sering tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terlihat.
Titik akhir dari hipotensi yang persisten adalah asfiksia, karena itu pengobatan segera ialah pemulihan defisit volume intravaskuler secepat mungkin. Angka kesakitan dan kematian ibu tertinggi terjadi pada solusio plasenta berat. Meskipun kematian dapat terjadi akibat nekrosis hipofifis dan gagal ginjal, tapi mayoritas kematian disebabkan syok perdarahan dan penimbunan cairan yang berlebihan. Tekanan darah tidak merupakan petunjuk banyaknya perdarahan, karena vasospasme akibat perdarahan akan meninggikan tekanan darah. Pemberian terapi cairan bertujuan mengembalikan stabilitas hemodinamik dan mengkoreksi keadaan koagulopathi. Untuk tujuan ini pemberian darah segar adalah pilihan yang ideal, karena pemberian darah segar selain dapat memberikan sel darah merah juga dilengkapi oleh platelet dan faktor pembekuan.
2. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita solusio plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena perdarahan yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik. Perfusi ginjal akan terganggu karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan terjadi akibat nekrosis tubuli atau nekrosis korteks ginjal mendadak. Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang harus secara rutin dilakukan pada solusio plasenta berat. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang secukupnya, pemberantasan infeksi, atasi hipovolemia, secepat mungkin menyelesaikan persalinan dan mengatasi kelainan pembekuan darah.
3. Kelainan pembekuan darah
Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya disebabkan oleh hipofibrinogenemia. Dari penelitian yang dilakukan oleh Wirjohadiwardojo di RSUPNCM dilaporkan kelainan pembekuan darah terjadi pada 46% dari 134 kasus solusio plasenta yang ditelitinya.
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan ialah 450 mg%, berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen plasma kurang dari 100 mg% maka akan terjadi gangguan pembekuan darah. Mekanisme gangguan pembekuan darah terjadi melalui dua fase, yaitu:
a. Fase I
Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi pembekuan darah, disebut disseminated intravasculer clotting. Akibatnya ialah peredaran darah kapiler (mikrosirkulasi) terganggu. Jadi pada fase I, turunnya kadar fibrinogen disebabkan karena pemakaian zat tersebut, maka fase I disebut juga coagulopathi consumptive. Diduga bahwa hematom subkhorionik mengeluarkan tromboplastin yang menyebabkan pembekuan intravaskuler tersebut. Akibat gangguan mikrosirkulasi dapat mengakibatkan syok, kerusakan jaringan pada alat-alat yang penting karena hipoksia dan kerusakan ginjal yang dapat menyebabkan oliguria/anuria.
b. Fase II
Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha tubuh untuk membuka kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini dilaksanakan dengan fibrinolisis. Fibrinolisis yang berlebihan malah berakibat lebih menurunkan lagi kadar fibrinogen sehingga terjadi perdarahan patologis. Kecurigaan akan adanya kelainan pembekuan darah harus dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, namun di klinik pengamatan pembekuan darah merupakan cara pemeriksaan yang terbaik karena pemeriksaan laboratorium lainnya memerlukan waktu terlalu lama, sehingga hasilnya tidak mencerminkan keadaan penderita saat itu.
4. Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire)
Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot rahim dan di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum latum. Perdarahan ini menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi biru atau ungu yang biasa disebut Uterus couvelaire. Tapi apakah uterus ini harus diangkat atau tidak, tergantung pada kesanggupannya dalam membantu menghentikan perdarahan. Komplikasi yang dapat terjadi pada janin:
1. Fetal distress
2. Gangguan pertumbuhan/perkembangan
3. Hipoksia dan anemia
4. Kematian

2. 8 Diagnosis
Keluhan dan gejala pada solusio plasenta dapat bervariasi cukup luas. Sebagai contoh, perdarahan eksternal dapat banyak sekali meskipun pelepasan plasenta belum begitu luas sehingga menimbulkan efek langsung pada janin, atau dapat juga terjadi perdarahan eksternal tidak ada, tetapi plasenta sudah terlepas seluruhnya dan janin meninggal sebagai akibat langsung dari keadaan ini.
Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi mengandung ancaman bahaya yang jauh lebih besar bagi ibu, hal ini bukan saja terjadi akibat kemungkinan koagulopati yang lebih tinggi, namun juga akibat intensitas perdarahan yang tidak diketahui sehingga pemberian transfusi sering tidak memadai atau terlambat.
Menurut penelitian retrospektif yang dilakukan Hurd dan kawan-kawan pada 59 kasus solusio plasenta dilaporkan gejala dan tanda pada solusio plasenta.

Tabel Tanda dan Gejala Pada Solusio Plasenta
No. Tanda atau Gejala Frekuensi (%)
1. Perdarahan pervaginam 78
2. Nyeri tekan uterus atau nyeri pinggang 66
3. Gawat janin 60
4. Persalinan prematur idiopatik 22
5. Kontraksi berfrekuensi tinggi 17
6. Uterus hipertonik 17
7. Kematian janin 15

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa perdarahan pervaginam merupakan gejala atau tanda dengan frekuensi tertinggi pada kasus-kasus solusio plasenta. Berdasarkan kepada gejala dan tanda yang terdapat pada solusio plasenta klasik umumnya tidak sulit menegakkan diagnosis, tapi tidak demikian halnya pada bentuk solusio plasenta sedang dan ringan. Solusio plasenta klasik mempunyai ciri-ciri nyeri yang hebat pada perut yang datangnya cepat disertai uterus yang tegang terus menerus seperti papan, penderita menjadi anemia dan syok, denyut jantung janin tidak terdengar dan pada pemeriksaan palpasi perut ditemui kesulitan dalam meraba bagian-bagian janin.

Prosedur pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis solusio plasenta antara lain :
1. Anamnesis.
• Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien dapat menunjukkan tempat yang dirasa paling sakit.
• Perdarahan pervaginam yang sifatnya dapat hebat dan sekonyong-konyong (non-recurrent) terdiri dari darah segar dan bekuan-bekuan darah yang berwarna kehitaman.
• Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak tidak bergerak lagi).
• Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-kunang. Ibu terlihat anemis yang tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar pervaginam.
• Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.
2. Inspeksi.
• Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
• Pucat, sianosis dan berkeringat dingin.
• Terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu).
3. Palpasi
• Tinggi fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya kehamilan.
• Uterus tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus) baik waktu his maupun di luar his.
• Nyeri tekan di tempat plasenta terlepas.
• Bagian-bagian janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.


4. Auskultasi
Sulit dilakukan karena uterus tegang, bila denyut jantung terdengar biasanya di atas 140, kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari satu per tiga bagian.
5. Pemeriksaan Dalam
• Serviks dapat telah terbuka atau masih tertutup.
• Kalau sudah terbuka maka plasenta dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his maupun di luar his.
• Apabila plasenta sudah pecah dan sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus placenta, ini sering meragukan dengan plasenta previa.
6. Pemeriksaan Umum
Tekanan darah semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit vaskuler, tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh dalam keadaan syok. Nadi cepat, kecil dan filiformis.
7. Pemeriksaan Laboratorium
• Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan sedimen dapat ditemukan silinder dan leukosit.
• Darah : Hb menurun, periksa golongan darah, lakukan cross-match test. Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah hipofibrinogenemia, maka diperiksakan pula COT (Clot Observation test) tiap l jam, tes kualitatif fibrinogen (fiberindex), dan tes kuantitatif fibrinogen (kadar normalnya 15O mg%).
8. Pemeriksaan Plasenta
Plasenta dapat diperiksa setelah dilahirkan. Biasanya tampak tipis dan cekung di bagian plasenta yang terlepas (kreater) dan terdapat koagulum atau darah beku yang biasanya menempel di belakang plasenta yang disebut hematoma retroplacenter.
9. Pemeriksaaan Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG yang dapat ditemukan antara lain:
• Terlihat daerah terlepasnya plasenta-Janin dan kandung kemih ibu.
• Darah.
• Tepian plasenta.

Gambar Solutio Plasenta Berdasarkan Hasil USG

Penanganan kasus-kasus solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya gejala klinis, yaitu:
a. Solusio plasenta ringan
Ekspektatif, bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada perbaikan (perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup) dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu persalinan spontan.
Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung terus, gejala solusio plasenta makin jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio plasenta bertambah luas), maka kehamilan harus segera diakhiri. Bila janin hidup, lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan amniotomi disusul infus oksitosin untuk mempercepat persalinan.
b. Solusio plasenta sedang dan berat
Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan, penanganan di rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus oksitosin dan jika perlu seksio sesaria.
Apabila diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan berarti perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 1000 ml. Maka transfusi darah harus segera diberikan. Amniotomi akan merangsang persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin. Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu yang mungkin akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari hematom subkhorionik dan terjadinya pembekuan intravaskuler dimana-mana. Persalinan juga dapat dipercepat dengan memberikan infus oksitosin yang bertujuan untuk memperbaiki kontraksi uterus yang mungkin saja telah mengalami gangguan.
Gagal ginjal sering merupakan komplikasi solusio plasenta. Biasanya yang terjadi adalah nekrosis tubuli ginjal mendadak yang umumnya masih dapat tertolong dengan penanganan yang baik. Tetapi bila telah terjadi nekrosis korteks ginjal, prognosisnya buruk sekali. Pada tahap oliguria, keadaan umum penderita umumnya masih baik. Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang teliti yang harus secara rutin dilakukan pada penderita solusio plasenta sedang dan berat, apalagi yang disertai hipertensi menahun dan preeklamsia. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang, pemberantasan infeksi yang mungkin terjadi, mengatasi hipovolemia, menyelesaikan persalinan secepat mungkin dan mengatasi kelainan pembekuan darah.
Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan pengamatan pembekuan darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari bahaya hepatitis, oleh karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya pada penderita yang sangat memerlukan, dan bukan pengobatan rutin. Dengan melakukan persalinan secepatnya dan transfusi darah dapat mencegah kelainan pembekuan darah.
Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infus oksitosin, maka satu-satunya cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria.
Apoplexi uteroplacenta (uterus couvelaire) tidak merupakan indikasi histerektomi. Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat dikendalikan setelah dilakukan seksio sesaria maka tindakan histerektomi perlu dilakukan.
2. 9 Prognosis
Prognosis ibu tergantung luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus, banyaknya perdarahan, ada atau tidak hipertensi menahun atau preeklamsia, tersembunyi tidaknya perdarahan, dan selisih waktu terjadinya solusio plasenta sampai selesainya persalinan. Angka kematian ibu pada kasus solusio plasenta berat berkisar antara 0,5-5%. Sebagian besar kematian tersebut disebabkan oleh perdarahan, gagal jantung dan gagal ginjal.
Hampir 100% janin pada kasus solusio plasenta berat mengalami kematian. Tetapi ada literatur yang menyebutkan angka kematian pada kasus berat berkisar antara 50-80%. Pada kasus solusio plasenta ringan sampai sedang, keadaan janin tergantung pada luasnya plasenta yang lepas dari dinding uterus, lamanya solusio plasenta berlangsung dan usia kehamilan. Perdarahan lebih dari 2000 ml biasanya menyebabkan kematian janin. Pada kasus-kasus tertentu tindakan seksio sesaria dapat mengurangi angka kematian janin
2. 10 Penatalaksanaan
1. Konservatif
Menunda pelahiran mungkin bermamfaat pada janin masih imatur serta bila solusio plasenta hanya berderajat ringan. Tidak adanya deselerasi tidak menjamin lingkungan intra uterine aman. Harus segera dilakukan langkah-langkah untuk memperbaiki hipovolemia, anemia dan hipoksia ibu sehingga fungsi plasenta yang masih berimplantasi dapat dipulihkan. Tokolisis harus di anggap kontra indikasi pada solusio plasenta yang nyata secara klinis
2. Aktif
Pelahiran janin secara cepat yang hidup hampir selalu berarti seksio caesaria. Seksio sesaria kadang membahayakan ibu karena ia mengalami hipovolemia berat dan koagulopati konsumtif. Apabila terlepasnya plasenta sedemikian parahnya sehingga menyebabkan janin meninggal lebih dianjurkan persalinan pervaginam kecuali apabila perdarahannya sedemikian deras sehingga tidak dapat di atasi bahkan dengan penggantian darah secara agresif atau terdapat penyulit obstetric yang menghalangi persalinan pervaginam.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3. 1 Pengkajian
Dalam hal pengumpulan data (pengkajian), pengumpulan data dasar terdiri dari informasi subjektif dan objektif mencakup berbagi masalah keperawatan yang diidentifikasi pada daftar diagnose keperawatan pada tahun 1992 yang dikembangkan oleh NANDA. Data subjektif yang dilaporkan oleh klien dan orang terdekat, informasi ini meliputi persepsi individu; yaitu apa yang seseorang inginkan untuk berbagi. Namun, perawat perlu memperhatikan ketidak sesuaian yang dapat menandakan adanya faktor-faktor lain seperti kurang pengetahuan, mitos, kesalahan konsep, atau rasa takut.
Adapun pengkajian yang dapat dilakukan menurut Marilyn E. Doenges yang dimana pengkajian dengan asuhan keperawatan perihal solution plasenta (tergolongi ntrapartum) terdiri dari :
a. Identitas klien secara lengkap.
b. Aktivitas atau istirahat.
Dikaji secara subyektif yang terdiri dari data tidur istirahat 24 jam terakhir, pekerjaan, kebiasaan aktivitas atau hobi. Dan secara obyektif, data terdiri dari pengkajian neuro muscular.
c. Sirkulasi.
Secara subyektif mulai dari riwayat, peningkatan tekanan darah, masalah jantung, keadaan ekstremitas serta kelaian-kelainan yang disamapaikan oleh klien perihal sirkulasi. Dan secara obyektif yang terdiri dari TD berbagai posisi (duduk, berbaring, berdiri, baik kanan maupun kiri), nadi secara palpasi, bunyi jantung, ekstremitas (suhu, warna, pengisian kapiler, tanda hofman, varises), warna/sianosis diberbagai region tubuh.
d. Integritas Ego.
Secara subyektif mulai dari kehamilan yang direncanakan, pengalaman melahirkan sebelumnya, sikap dan persepsi, harapan selama persalinan, hubungan keluarga, pendidikan dan pekerjaan (ayah), masalah financial, religious, faktor budaya, adanya faktor resiko serta persiapan melahirkan. Dan secara obyektif, terdiri dari respon emosi terhadap persalinan, interaksi dengan orang pendukung, serta penatalaksanaan persalinan.
e. Eliminasi.
Data didapat secara subyektif dan obyektif terkait dengan eliminasi
f. Makanan atau cairan.
Data didapat secara subyektif dan obyektif terkait dengan makanan atau cairan yang masuk kedalam tubuh baik secara parenteral maupun enteral serta kelainan-kelainan yang terkait.
g. Higiene.
Data didapat secara subyektif dan obyektif terkait dengan kebersihan diri klien.
h. Neurosensori.
Data didapat secara subyektif dan obyektif terkait dengan kondisi neurosensori dari klien.
i. Nyeri/Ketidaknyamanan.
Data didapat secara subyektif dan obyektif terkait dengan rasa nyeri atau ketidaknyamanan dari klien akibat dari proses persalinan.
j. Pernafasan.
Data didapat secara subyektif dan obyektif terkait dengan pernafasan serta kelainan-kelainan yang dialami dan kebiasaan dari klien.
k. Keamanan.
Data didapat secara subyektif dan obyektif terkait dengan alergi/sensitivitas, riwayat PHS, status kesehatan, bulan kunjungan prenatal pertama, masalah dan tindakan obstetric sebelumnya dan terbaru, jarak kehamilan, jenis melahirkan sebelumnya, tranfusi, tinggi dan postur ibu, pernah terjadi fraktur atau dislokasi, keadaan pelvis, persendian, deformitas columna fertebralis, prosthesis, dan alat ambulasi. Dan data objektif diperoleh dari suhu, integritas kulit (terjadi ruam, luka, memar, jaringan parut), parastesia, status dari janin mulai dar frekuensi jantung hingga hasil, status persalinan serta kelainan-kelainan terkait, kondisi dari ketuban, golongan darah dari pihak ayah ataupun ibu, screening test dari darah, serologi, kultur dari servik atau rectal, kutil atau lesi vagina dan varises pada perineum.
l. Seksual.
Data subjektif di dapat dari periode menstruasi akhir serta keadaan-keadaan terkait seksual dari ibu8 ataupun bayi dan juga riwayat melahirkan. Data objektif di dapat dari keadaan pelvis, prognosis untuk melahirkan, pemeriksaan bagian payudarah dan juga tes serologi.
m. Interaksi Sosial.
Data subjektif di dapat dari status perkawinan, lama tahun berhubungan anggota keluarga, tinggal dengan, keluarga besar, orang pendukung, leporan masalah. Data objektif di dapat dari komunikasi verbal/non verbal dengan keluarga/orang terdekat, pola interaksi social (perilaku).

3. 2 Analisa data
Analisis meliputi pemeriksaan temuan pengkajian, pengelompokan temuan yang berhubungan, dan membandingkan temuan terhadap parameter normal yang dibuat. Kemudian, untuk membuat diagnose keperawatan manjadi akurat adalah identifikasi masalah yang memfokuskan perhatian pada respon fisik atau perilaku saat ini atau beresiko tinggi yang mempengaruhi kualitas hasrat hidup klien atau pada apa yang menjadi kebiasaan (Doenges, 2001).
Diagnosa keperawatan menunjukkan masalah keperawatan/masalah klien, orang terdekat, dan atau perawat yang memerlukan intervensi keperawatan dan penatalaksanaan (Doenges, 2001:14).
The North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) telah menerima definisi kerja dari diagnose keperawatan, yaitu: penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah-masalah kesehatan/proses kehidupan yang actual dan potensial. Diagnose keperawatan memberikan dasar terhadap pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil dimana perawat dapat bertanggung gugat.
Diagnosa keperawatan dari ASKEP solution plasenta, diantaranya :
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan trauma jaringan.
2. Ansietas berhubungan dengan ancaman yang dirasakan pada klien atau janin
3. Infeksi, resiko tinggi terhadap prosedur invasive.

3. 3 Rencana Keperawatan dan Implementasi
Rencana keperawatan tidak hanya terdiri dari tindakan yang dilakukan karena pesanan/ketentuan medis, tetapi juga koordinasi tertulis dari perawatn yang diberikan oleh semua disiplin pelayanan kesehatan yang berhubungan. Tindakan keperawatan mandiri adalah bagian integral dari proses ini. Tindakan kolaboratif didasarkan pada aturan medis sertan anjuran atau pesanan dari disiplin lain yang terlibat dengan asuhan terhadap klien.
Pada bagian ini, mengkomunikasikan tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mencapai hasil klien yang diinginkan. Rasional untuk intervensi perlu logis dan dapat dikerjakan dengan tujuan memberikan perawatan individual. Tindakan mungkin mandiri atau kolaboratifdan mencakup pesanan dari keperawatan, kedokteran, dan disiplin lain (Doenges, 2001).

Dx 1 Nyeri (akut) berhubungan dendan trauma jaringan
 Hasil yang diharapkan:
klien akan mengungkapkan penatalaksanaan/reduksi nyeri.
 Intervensi :
1. Bantu dengan penggunaan tekhnik pernafasan.
R/ mendorong relaksasi dan memberikan klien cara mengatasi dan mengontrol tingkat nyeri.
2. Anjurkan klien untuk menggunakan teknik relaksasi. Berikan instruksi bila perlu.
R/ relaksasi dapat membantu menurunkan tegangan dan rasa takut, yang memperberat nyeri.
3. Berikan tindakan kenyamanan (pijatan, gosokan punggung, sandaran bantal, pemebrian kompres sejuk, dll)
R/ meningkatkan relaksasi dan meningkatkan kooping dan kontrol klien.
4. Kolaborasi memberikan sedatif sesuai dosis
R/ meningkatkan kenyamanan dengan memblok impuls nyeri.

Dx 2 Ansietas berhubungan dengan ancaman yang dirasakan pada klien/janin.
 Hasil yang diharapkan:
Klien akan melaporkan ansietas berkurang dan/ atau teratasi, tampak rileks.
 Intervensi:
1. Kaji status psikologis dan emosional
R/ adanya gangguan kemajuan normal dari persaliann dapat memperberat perasaan ansietas dan kegagalan. Perasaan ini dapat mengganggu kerja sama klien dan menghalangi proses induksi.
2. Anjurkan pengungkapan perasaan.
R/ Klien mungkin takut atau tidak memahami dengan jelas kebutuhan terhadap induksi persalinan. Rasa gagal karena tidak mampu ”melahirkan secara alamiah” dapat terjadi.
3. gunakan terminologi positif, hindari penggunaan istilah yang menandakan abnormalitas prosedur atau proses.
R/ Membantu klien/pasangan menerima situasi tanpa menuduh diri sendiri.
4. Dengarkan keterangan klien yang dapat menandakan kehilangan harga diri.
R/ Klien dapat meyakini bahwa adanya intervensi untuk membantu proses persalinan adalah refleksi negatif pada kemampuan dirinya sendiri.
5. Berikan kesempatan pada klien untuk memberi masukan pada proses pengambilan keputusan.
R/ Meningkatkan rasa kontrol klien meskipun kebanyakan dari apa yang sedang terjadi diluar kontrolnya.
6. anjurkan penggunaan/kontinuitas teknik pernapasan dan latihan relaksasi.
R/ Membantu menurunkan ansietas dan bmemungkinkan klien berpartisipasi secara aktif.

Dx 3 Infeksi, resiko tinggi terhadap prosedur invasive.
 Hasil yang diharapkan:
Klien akan bebas dari infeksi, pencapaian tepat waktu dalam pemulihan luka tanpa komplikasi.
 Intervensi
1. Tinjau ulang kondisi/faktor risiko yang ada sebelumnya.
R/ Kondisi dasar ibu, seperti diabetes atau hemoragi, menimbulkan potensial risiko infeksi atau penyembuhan luka yang buruk. Risiko korioamnionitis meningkat dengan berjalannya waktu, membuat ibu dan janin pada berisiko. Adanya proses infeksi janin pada berisiko. Adanya proses infeksi dapat meningkatkan risiko kontaminasi janin.
2. Kaji terhadap tanda dan gejala infeksi (misalnya, peningkatan suhu, nadi, jumlah sel darah putih, atau bau/warna rabas vagina).
R/ Pecah ketuban terjadi 24 jam sebelum pembedahan dapat mengakibatkan korioamnionitis sebelum intervensi bedah dan dapat mengubah penyembuhan luka.
3. Kolaborasi melakukan persiapan kulit praoperatif; scrub sesuai protokol.
R/ Menurunkan risiko kontaminan kulit memasuki insisi, menurunkan risiko infeksi pascaoperasi.
4. Kolaborasi melakukan kultur darah, vagina, dan plasenta sesuai indikasi.
R/ Mengidentifikasi organisme yang menginfeksi dan tingkat keterlibatan.
5. Kolaborasi dalam mencatat hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht); catat perkiraan kehilangan darah selama prosedur pembedahan.
R/ Risiko infeksi pasca-melahirkan dan penyembuhan buruk meningkat bila kadar Hb rendah dan kehilangan darah berlebihan.
6. Kolaborasi dalam memberikan antibiotik spektrum luas pada pra operasi.
R/ Antibiotik profilaktik dapat dipesankan untuk mencegah terjadinya proses infeksi, atau sebagai pengobatan pada infeksi yang teridetifikasi.
3. 4 Evaluasi
Evaluasi respon klien terhadap asuhan yang diberikan dan pencapaian hasil yang diharapkan (yang dikembangkan dalam fase perencanaan dan di dokumentasikan dalam rencana keperawatan) adalah tahap akhir dari proses keperawatan. Fase evaluasi perlu untuk menentukan seberapa baik rencana asuhan tersebut berjalan dan bagaimanan selama proses terus menerus. Revisi rencana keperawatan adalah komponen penting dalam evaluasi.
Pengkajian ulang adalah proses evaluasi terus menerus yang terjadi tidak hanya hasil yang diharapkan terjadi pada klien di tinjau ulang atau bila keputusan dibutuhkan apakah klien siap atau tidak untuk pulang. (Doengos, 2001:15).
Evaluasi adalah proses berkelanjutan. Perawat dapat mengasumsikan perawatan tersebut telah efektif saat hasil yang diharapkan untuk perawatan dapat terjadi. (Wong, 2002:366).










BAB IV
PENUTUP

4. 1 Kesimpulan
Solulusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya sebelum janin lahir diberi beragam sebutan; abruption plasenta, accidental haemorage. Keadaan klien dengan solutio plasenta memiliki beberapa macam berdasarkan tingkat keparahannya, tingkat keparahan ini dilihat dari volume perdarahan yang terjadi mulai dari solutio ringan hingga berat.
Trauma langsung abdomen, hipertensi ibu hamil, umbilicus pendek atau lilitan tali pusat, janin terlalu aktiv sehingga plasenta dapat terlepas, tekanan pada vena kafa inferior, dan lain-lain diketahui bahwa sebagai penyebab dari solution plasenta. Beberapa faktor yang menjadi faktor predisposisi solution plasenta itu sendiri didapat dan diketahui mulai dari faktor fisik dan psikologis dengan kata lain ditinjau dari kebiasaan-kebiasaan klien yang dapat mendukung timbulnya solution plasenta. Adapun komplikasi dari solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas, usia kehamilan dan lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi terparah dari solution plsenta dapat mengakibatkan syok dari perdarahan yang terjadi, keadaan seperti ini sangat berpengaruh pada keselamatan dari ibu dan janin.
Penatalaksanaan dari solution plaseenta dapat dilakukan secara konservatif dan secara aktif. Masing-masing dari penatalaksaan tersebut mempunyai tujuan demi keselamatan baik bagi ibu, janin, ataupuun keduanya.

4. 2 Saran
 Diharapkan perawat serta tenaga kesehatan lainnya mampu memahami dan mendalami dari solution plasenta.
 Perawat serta tenaga kesehatan l;ainnya mampu meminimalkan faktor risiko dari solution plasenta demi mempertahankan dan meningkatkan status derajat kesehatan ibu dan anak.
 Institusi kesehatan terkait dapat menyediakan dan mempersiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalm kejadian-kejadian abnormalitas ibu terkait dengan kehamilan dan persalinan.
 Masyarakat mampu dan mau mempelajari keadaan abnormal yang terjadi pada mereka sehingga para tenaga kesehatan dapat memberikan tindakan secara dini dan mampu mengurangi jumlah mortalitas padaibu dan janin.
 Pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
 Mahasiswa dengan latar belakang medis sebagai calon tenaga kesehatan mampu menguasai baik secara teori maupun skil untuk dapat diterapkan pada masyarakat secara menyeluruh.















DAFTAR PUSTAKA

Cunningham FG, dkk,. 2001. Obstetrical haemorrhage. Wiliam obstetrics 21th edition. Lange USA: Prentice Hall International Inc Appleton.

Doengoes, Marilynn E, dkk,. 2001. Rencana perawatan maternal/bayi. Edisi 2. Jakarta: EGC.

http://kuliahbidan.wordpress.com/2008/07/16/karakteristik-kasus-solusio-plasenta-di-bagian-obstetri-dan-ginekologi-rsud-arifin-achmad-pekanbaru-periode-1-januari-2002-31-desember-2006/. Diakses tanggal 22 Maret 2008.

Manuaba, Chandarnita, dkk,. 2008. Gawat-darurat obstetri-ginekologi & obstetri-ginekologi sosial untuk profesi bidan. Jakarta: EGC.

Prawirohardjo S, Hanifa W. 2002. Kebidanan Dalam Masa Lampau, Kini dan Kelak. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Wong, Dona L, dkk,. 2002. Maternal child nursing care 2nd edition. Santa Luis: Mosby Inc.