Rabu, 28 Juli 2010

Makalah Malpraktek Euthanasia


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Malpraktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan oleh dokter pada umumnya didalam situasi dan kondisi yang sama (Berkhouwer & Vorsman, 1950).
Keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.
Untuk pertama kali di Indonesia seseorang yang mengakhiri penderitaan orang lain dengan cara disuntik mati diajukan oleh keluarga pasien kepada negara. Adalah Hassan Kusuma yang memohon izin menyuntik mati istrinya, Agian Isna Nauli yang tergolek tak berdaya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sejak dua bulan terakhir. Agian tak sadarkan diri sehari setelah dioperasi caesar di Rumah Sakit Islam (RSI) Bogor, Jawa Barat, 20 Juli 2004.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang dokter? Untuk diketahui, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum ihwal standar profesi kedokteran yang bisa mengatur kesalahan profesi.
Sebenarnya kasus malpraktek bukanlah barang baru. Sejak bertahun-tahun yang lalu, kasus ini cukup akrab di Indonesia. Makalah ini akan membahas tentang malpraktek ditinjau dari hukum dan etika.
Menurut Coughlin's Dictionary Of Law: Malpractice may be the result of ignorance,neglec,orlack of skill or fidelity in the performance of profesional duties; intentional wrongdoing ;ol illegal or unethical practice (malpraktek bisa diakibatkan kareba sikap kurang keterampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanakan kewajiban profesional;tindakan salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis). Menurut Di Oxford Illustrated dictionary, 2nded,1975: Malpraktice = Wrongdoing;(law) Improper treatment of patient by medical attendant;illegal action for one's owun benefit while I position of trust. (Malpraktek=Sikap atau tindakan yang salah; (hukum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medik; tindakan yang ilegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan).
Perumusan dari banyak penulis lainnya,tidak jauh berbeda dari perumusan-perumusan tersebut diatas. Akan tetapi inti dari pada perumusan malpraktek tersebut di atas, serta menurut hokum yang berlaku di indonesia, kurang lebih adakah sebagai berikut: malpraktek adalah perbuatan dokter/tenaga kesehatan lainnya pada waktu menjalankan tugas profesinya yang bertentangan atau melanggar atau tindak/kurang hati-hati memperhatikan ketentuan atau prsyaratan yang berlaku untuk setiap tingkt keadaan penyakit pasien yang ditanganinya, baik menurut paraturan perundangan maupun ukuran kepatutan atau ukuran ilmu kedokteran yang dapat dipertanggung jawabkan serta menurut ukuran profesionalitas dan menimbulkan akibat yang merugikan pasien/keluarganya.
Dengan mencermati rumusan-rumusan malpraktek seperti dikutip diatas,maka dalam pengertian malpraktek mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja, (Intentional, dolus, opzettelijk) melanggar undang-undang dan ketidaksengajaan (Culpa,negligance), Kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh. sembrono, tak perduli terhadap kepentingan orang lain.
Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP, kode etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian dan kematian pada orang lain. Biasanya malpraktik dilakukan oleh kebanyakan dokter di karenakan salah diagnosa terhadap pasien yang akhirnya dokter salah memberikan obat.
Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik yang terjadi di beberapa rumah sakit, kasus yang paling buming di bicarakan di media-media adalah kasus prita mulyasari. Ia mengaku adalah korban malpraktik di rumah sakit Omni internasional. Tidak hanya kasus Prita saja, masih banyak lagi kasus-kasus lain. Pihak rumah sakit berlindung pada nama besarnya.

B. Perumusan Masalah
Hukum terlihat begitu memihak pada pihak yang lebih memiliki kuasa dan uang. Hukum lemah dalam memperjuangkan hak rakyatnya yang telah menjadi korban malpraktik.
Sebenarnya siapa yang paling bersalah dalam kasus seperti ini? Tentu saja pihak rumah sakit. Mengapa rumah sakit tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang telah dilakukan? Haruskah mempersulit masalah seperti ini demi melindungi nama baik rumah sakit?. Dengan tersebarnya kasus seperti ini walaupun belum terungkap yang sebenarnya, nama rumah sakit tersebut sudah mendapat keraguan dari masyarakat. Tidak ada asap jika tidak ada api. Kasus ini timbul karena kesalahan dari pihak rumah sakit. Mengapa kasus ini harus dibesar-besarkan yang justru membuat nama rumah sakit tersebut tercemar? Yang dibutuhkan dalam hal ini adalah pertanggung jawaban bukan fakta yang dibalikkan. Pasien yang justru dirugikan dan tidak mendapat pertanggung jawaban.



















BAB II
TINJAUAN KASUS

Untuk pertama kali di Indonesia seseorang yang mengakhiri penderitaan orang lain dengan cara disuntik mati diajukan oleh keluarga pasien kepada negara. Adalah Hassan Kusuma yang memohon izin menyuntik mati istrinya, Agian Isna Nauli yang tergolek tak berdaya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sejak dua bulan terakhir. Agian tak sadarkan diri sehari setelah dioperasi caesar di Rumah Sakit Islam (RSI) Bogor, Jawa Barat, 20 Juli 2004.
Sang suami sudah tak sanggup lagi memikul beban ekonomi merawat istri yang dirasakan nyaris tanpa harapan kesehatannya bakal pulih kembali. Minimal kembali bisa berkomunikasi dengannya.
..…kematian seyogianya tetap ada pada tangan Tuhan. Dengan kata lain, biarkanlah hak untuk hidup tetap di tangan Tuhan saja, bukan dihibahkan kepada tangan kita yang betapa kecil begini……

Sumber : http://www.mentaritimur.com/mentari/oct04/euthanasia.htm
























BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN MALPRAKTEK
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi bidan.
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

B. EUTHANASIA
B.1. Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178).

BAB IV
PEMBAHASAN

Dari sepenggal cerita di atas, permintaan Hassan untuk mengakhiri hidup istrinya dapat dikategorikan dalam euthanasia aktif. Pengertian euthanasia sendiri dapat dikategorikan dalam tiga hal:
• Euthanasia pasif: Tidak semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebenarnya tersedia untuk memperpanjang hidup seorang pasien dipergunakan.
• Euthanasia tidak langsung: Usaha untuk memperingan kematian dengan efek sampingan. Dengan harapan, pasien barangkali meninggal lebih cepat. Dalam hal ini termasuk pemberian segala macam obat narkotika, hipnotika, dan analgetika yang secara tidak langsung dapat memperpendek kehidupan walaupun hal tersebut tidak disengaja.
• Euthanasia aktif: Proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung.
Jika dilihat dari sudut pandang hukum, hukum positif dengan tegas melarang euthanasia. Pasal 344 KUHP menyatakan: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain, atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun. Ketentuan yuridis ini diperkuat dengan kode etik kedokteran pasal 10 yang menegaskan: Seorang dokter harus senantiasa ingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Euthanasia atau tindakan apapun yang berakibat kematian seseorang jelas dengan tegas ditolak. Bahkan itu dapat dituntut ke pengadilan dengan dakwaan pembunuhan. Meskipun dalam KUHP tidak disebutkan secara eksplisit mengenai euthanasia, namun yang dimaksud disini adalah euthanasia aktif.

Larangan demikian, diperkuat oleh kenyataan religiusitas masyarakat. Sehingga tidak ada pembenaran dari aspek mana pun yang memperkenankan euthanasia. Dengan kata lain, di Indonesia NO Euthanasia. Meskipun beberapa Negara seperti Belanda, Belgia dan Negara bagian Oregon AS sudah melegalkan euthanasia.
Yang sering terjadi ditengah masyarakat adalah euthanasia pasif dan hal ini sering tidak disadari dan dibiarkan berlalu. Pasien sekarat yang karena alasan ekonomi terpaksa tidak bisa mendapatkan pertolongan medis yang layak, sehingga harus menghadapi ajal bukan pada jamnya. Contoh lain adalah, seorang pasien koma yang hidupnya diulur berkat bantuan mesin jantung dan paru-paru, sewaktu-waktu bisa langsung ajal juga jika mesin penunjang hidup itu dihentikan.
Pasien demikian tidak meninggal secara alami, melainkan meninggal sebelum waktunya. Pasien sesungguhnya masih punya harapan untuk tidak kehilangan nyawa. Itu lantaran sebetulnya harapan untuk hidup masih berada ditangan kekuasaan manusia. Kalau saja ia kecukupan ekonomi, kematian yang tidak harus terjadi itu belum akan terjadi. Dan kalau saja mesin penyambung hidup itu tidak dihentikan, kematian bukan pada jamnya itu belum akan terjadi.
Demikian juga dengan kasus euthanasia. Kendati setiap orang merasa punya hak untuk mati, tapi kematian seyogianya tetap ada pada tangan Tuhan. Dengan kata lain, biarkanlah hak untuk hidup tetap di tangan Tuhan saja, bukan dihibahkan kepada tangan kita yang betapa kecil begini. Namun, dengan memilih euthanasia, kekuasaan jadi berbelok pada tangan manusia. Termasuk itu juga argumentasinya untuk kasus yang di mata medis sudah tidak ada harapan untuk sembuh. Bukankah kita sebagai umat percaya masih menyimpan sepotong mukjizat dalam keyakinan kita. Hukum suatu negara boleh saja berpihak terhadap euthanasia, tapi kekuasaan Tuhan tak elok kalau sampai kita belokkan.
Sekarang dengan semakin majunya ilmu kedokteran, bayi cacat dalam kandungan sudah bisa dideteksi sebelum berumur 3 bulan. Siapa saja bisa memutuskan apa saja kalau sampai pada pertimbangan jika akibat kecacatannya ia akan menyusahkan orang lain, sepanjang hidupnya harus terus bergantung pada orang lain, buat apa tetap dibiarkan lahir. Euthanasia bayi sering merupakan bagian dari keputusan dengan akal sehat juga.
Buat orang beragama, keputusan yang mendahului tangan Yang Di Atas, tentu bukanlah sikap yang arif. Manusia tidak pernah tahu apa rencana Tuhan buat kita ke depan, termasuk buat pasien yang menurut anggapan kita, ramalan dokter, pendapat ilmu dan teknologi kedokteran telah dianggap sudah tidak punya harapan lagi















BAB V
PENUTUP

Secara etimologi, euthanasia berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti baik, dan thanatos yang berarti kematian. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam (1997) disebutkan, euthanasia adalah tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan seseorang agar terbebaskan dari kesengsaraan yang diderita. Tindakan ini dilakukan terhadap pasien yang tidak memunyai harapan sembuh.
Memudahkan proses kematian dengan cara pasif (euthanasia pasif), yang diistilahkannya sebagai euthanasia negatif (taisir al-maut al-munfa'il), demikian kata Yusuf Qardhawi, hukumnya jaiz (boleh), alias tidak haram. Termasuk dalam kategori euthanasia negatif adalah menghentikan pengobatan atau tidak memberikan pengobatan terhadap pasien yang menurut keyakinan dokter kalaupun obat itu tetap diberikan tidak ada gunanya.
Alasan yang dikemukakan adalah, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan imam mazhab, bahwa pada prinsipnya mengobati atau berobat hukumnya tidak wajib, alias mubah. Namun, jika sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan Sunnatullah, hukumnya wajib berobat. Sebaliknya, jika sudah tidak ada harapan untuk sembuh, sesuai dengan Sunnatullah dan hukum sebab-akibat yang diketahui oleh para dokter, maka melanjutkan pengobatannya hukumnya tidak wajib.
Disamping itu, secara sosiologis, merampas nyawa orang berdasarkan kemauan sendiri juga melanggar hak asasi manusia. Ini sebagaimana diatur pada Tap MPR No XVII/MPR/1998 dan Amandemen UUD 45 Pasal 28 a. Terlebih, bila ditinjau dari sudut agama, sebagaimana fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), bahwa euthanasia hukumnya haram.
Dalam hal ini benar-benar hukum harus berlaku adil tanpa memandang siapa dan apa kekuasaan yang dimiliknya. Siapapun dia kalau memang bersalah harus dihukum sesuai dengan kesalahannya. Dalam kasus seperti ini, ada sanksi bagi tim medis atau dokter yang melakukan malpraktik akibat unsur kesengajaan dan kelalaian. Dalam Undang-undang KUHP pasal 360 yang berbunyi:
(1) ‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’.
(2) ‘Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharia selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah’.














DAFTAR PUSTAKA
Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005
Hermien Hardiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medis, Airlangga Universitas, Press, Surabaya, 1984.

Sabir Alwy, Mal praktik di Rumah Sakit, Makalah, Jakarta, 2006.
Sofwan Dahlan, 2003, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang hal 37
Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
Abdul gani, Mal Praktik ditinjau Dari Segi Ilmu Hukum, Makalah, Denpasar, 1987

http://www.suaramerdeka.com/harian/0505/13/opi04.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar